Di zaman di mana kita bisa mendapatkan nilai tukar mata uang hanya dengan mengetik beberapa kata di Google, siapa sangka bahwa satu kesalahan sistem bisa membuat banyak orang hampir tersedak kopi sore hari? Pada 1 Februari 2025, pencarian sederhana "1 USD to IDR" di Google menampilkan angka yang membuat mata membelalak: 8.170. Padahal, sehari sebelumnya, angka yang tertera masih berada di kisaran 16.355.25.
Reaksi publik pun beragam. Ada yang langsung panik dan membayangkan skenario di mana ekonomi Amerika runtuh seperti rumah kartu. Ada yang sibuk screenshot, mungkin berharap bisa menuntut bank karena kurs mereka "terlalu mahal." Sementara itu, beberapa investor yang cukup impulsif mungkin sempat mempertimbangkan untuk membeli atau menjual aset dalam hitungan detik. Namun, bagi yang lebih skeptis, ini hanyalah bukti lain bahwa mesin pencari favorit kita pun tak luput dari kesalahan.
Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya terjadi. Glitch seperti ini pernah menimpa berbagai platform keuangan digital. Beberapa tahun lalu, sebuah kesalahan algoritma pernah membuat harga Bitcoin terlihat jatuh ke nol di satu bursa kripto, dan kepanikan pun menyebar lebih cepat daripada virus meme di Twitter. Fenomena ini menunjukkan bahwa betapa pun kita mengandalkan teknologi, kita masih belum bisa menyerahkan seluruh nasib ekonomi kita ke tangan algoritma tanpa sedikit pun skeptisisme.
Tapi mari kita bermain-main dengan ide ini sebentar. Bagaimana jika ini bukan sekadar kesalahan teknis? Apa yang akan terjadi jika Dolar AS benar-benar kehilangan separuh nilainya terhadap Rupiah?
Bagi mereka yang suka belanja barang impor, ini bisa menjadi hari terbaik dalam hidup mereka. Harga iPhone bisa turun drastis, barang elektronik Jepang bisa dibeli dengan harga yang lebih ramah di kantong, dan biaya liburan ke luar negeri jadi lebih murah. Tapi jangan buru-buru bersorak, karena ekonomi adalah permainan keseimbangan yang lebih kompleks dari sekadar perbandingan harga.
Jika Rupiah terlalu kuat terhadap Dolar, daya saing ekspor kita bisa melemah. Perusahaan yang bergantung pada pasar luar negeri, terutama ke AS, mungkin akan menghadapi pukulan telak. Bayangkan sebuah pabrik tekstil di Jawa Barat yang selama ini mengirimkan produknya ke Amerika. Tiba-tiba, harga produk mereka menjadi terlalu mahal di mata pembeli AS, yang tentu lebih memilih mencari produk dari negara lain yang lebih kompetitif. Jika ini terjadi secara luas, maka industri yang selama ini menyerap jutaan tenaga kerja bisa terguncang.
Di sisi lain, jika kita melihat ini dari perspektif ekonomi global, pelemahan Dolar secara signifikan bisa berarti bahwa AS sedang mengalami krisis besar. Dan jika AS batuk, dunia bisa terkena flu. Sebagai salah satu motor utama ekonomi dunia, segala guncangan di sana pasti akan terasa hingga ke Indonesia, entah dalam bentuk pasar saham yang bergejolak atau arus investasi yang tiba-tiba berbalik arah.
Dari perspektif psikologi keuangan, fenomena ini juga menarik. Ada alasan mengapa orang begitu panik melihat angka di Google berubah drastis, padahal belum tentu itu benar. Sebagian besar dari kita memiliki bias kognitif yang disebut anchoring effect, kita terbiasa dengan angka tertentu, dan ketika angka itu tiba-tiba berubah drastis, otak kita bereaksi seolah-olah sesuatu yang luar biasa telah terjadi, meskipun kenyataannya mungkin tidak demikian.
Secara filosofis, ini juga menimbulkan pertanyaan yang lebih dalam: Seberapa besar realitas ekonomi kita sebenarnya dikendalikan oleh persepsi semata? Jika cukup banyak orang percaya bahwa Dolar telah jatuh, apakah itu bisa menciptakan efek bola salju yang akhirnya benar-benar membuat Dolar jatuh? Sejarah telah menunjukkan bahwa kepercayaan dan psikologi massa sering kali lebih menentukan arah ekonomi daripada faktor-faktor fundamental yang "seharusnya" lebih rasional.