Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... Administrasi - ASN

orang bodoh yang tak kunjung pandai - KH Mustofa Bisri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dona Dona dan Palestina: Sejarah yang Berulang, Tapi Dunia Tetap Diam

31 Januari 2025   18:58 Diperbarui: 31 Januari 2025   22:35 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/6/6d/Mill_(British_Mandate_for_Palestine_currency,_1927).jpg

"On a wagon bound for market, there’s a calf with a mournful eye..."

Sebuah lagu sedih terdengar dari sebuah rumah di Warsawa tahun 1942. Seorang ibu Yahudi menyanyikannya untuk anaknya, sementara di luar, kereta pengangkut tahanan Nazi bersiap berangkat ke Auschwitz. Lagu itu berjudul Dona Dona, bercerita tentang anak sapi yang diarak menuju penjagalan, bertanya mengapa nasibnya demikian, sementara burung layang-layang bebas terbang di langit.

Hari ini, di Palestina, kisah yang sama terulang. Gaza terkepung, anak-anak terjebak dalam perang yang bukan pilihan mereka. Hanya saja, kali ini anak sapi itu bernama Palestina, dan mereka yang membangun kandangnya adalah Israel.

Lagu Dona Dona ditulis oleh Aaron Zeitlin dalam bahasa Yiddish sebagai ratapan bagi kaum Yahudi yang diburu Nazi. Namun, ironisnya, setelah Holocaust berakhir, Zionisme justru menciptakan luka baru. Pada 1948, lebih dari 700.000 warga Palestina terusir dari tanah mereka dalam peristiwa Nakba. Desa-desa mereka dihancurkan, rumah mereka diambil alih, dan mereka dipaksa menjadi pengungsi di tanah mereka sendiri.

"Calves are easily bound and slaughtered, never knowing the reason why..."

Anak sapi dalam lagu ini tidak punya pilihan selain menerima nasibnya. Begitu pula dengan Palestina. Blokade di Gaza telah berlangsung lebih dari satu dekade, menciptakan penjara terbuka terbesar di dunia. Dua juta orang terjebak dalam wilayah seluas 365 km², dengan listrik yang hanya menyala beberapa jam sehari, air yang tercemar, dan serangan udara yang bisa datang kapan saja.

Sementara itu, di Tepi Barat, tembok pemisah setinggi delapan meter memotong desa-desa Palestina, membatasi akses mereka ke rumah sakit, sekolah, dan ladang mereka sendiri. Permukiman ilegal Israel terus meluas, mencuri tanah yang tersisa. Bahkan anak-anak Palestina yang melempar batu bisa dipenjara selama bertahun-tahun oleh pengadilan militer Israel, sementara tentara Israel yang membunuh warga sipil Palestina sering kali bebas tanpa hukuman.

"Stop complaining," said the farmer. "Who told you a calf to be?"

Dunia barat yang dulu menangisi Holocaust kini memilih diam ketika Israel melakukan genosida perlahan terhadap Palestina. Amerika Serikat menggelontorkan miliaran dolar setiap tahun untuk membiayai militer Israel, sementara Uni Eropa menutup mata terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi. Media arus utama lebih sibuk mengecam perlawanan Palestina dibanding membahas penjajahan yang telah berlangsung lebih dari 75 tahun.

"But whoever treasures freedom, like the swallow must learn to fly."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun