Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri

orang bodoh yang tak kunjung pandai - KH Mustofa Bisri

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ketika Semangat Menulis Diuji: Antara Kebebasan, Aturan, dan Ironi Platform Digital

31 Januari 2025   14:48 Diperbarui: 31 Januari 2025   15:01 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://www.kompasiana.com/noerhilman5202/679c5f1634777c73b43940f2

Bayangkan ini: Anda baru saja menulis sebuah artikel, mengulik topik yang sedang hangat, menuangkan pikiran dengan sepenuh hati, dan menekan tombol 'Publikasikan' dengan rasa bangga. Tapi beberapa jam kemudian, artikel itu lenyap. Ada pemberitahuan, tetapi hanya sebatas bahwa tulisan dianggap melanggar aturan, tanpa penjelasan yang cukup untuk memahami kesalahannya. Anda merasa seperti seorang koki yang baru saja menyajikan hidangan spesial, hanya untuk melihatnya disingkirkan dari meja dengan alasan yang tidak sepenuhnya jelas.

Sebagai penulis baru di Kompasiana, saya mengalami kejadian ini secara langsung. Artikel saya, yang membahas perkembangan kecerdasan buatan (AI) dan implikasinya, dianggap melanggar aturan. Masalahnya? Saya tidak tahu bagian mana yang salah. Lebih menyakitkan lagi, semangat saya yang sedang membara tiba-tiba disiram air dingin oleh moderasi yang terasa seperti portal tanpa wajah. Saya memahami bahwa setiap platform memiliki kebijakan, dan tentu ada konten yang memang harus disaring. Tapi ketika sebuah artikel yang informatif diperlakukan sama seperti ujaran kebencian atau hoaks, ada sesuatu yang perlu dikaji ulang.

Dalam era informasi ini, kita hidup di antara dua ekstrem. Di satu sisi, internet dipenuhi kebisingan tak berguna: clickbait, teori konspirasi, dan sampah digital lainnya. Di sisi lain, ada penulis yang sungguh-sungguh ingin berbagi gagasan tapi malah terkena sensor yang kadang lebih tajam dari sensor film di TV nasional. Mungkin ada baiknya kita melihat contoh lain. TikTok, misalnya, bisa menghapus konten seseorang hanya karena algoritmanya mendeteksi kata yang dianggap "sensitif". YouTube juga sering menghadapi kritik karena sistem moderasi otomatisnya yang kerap menjatuhkan sanksi tanpa konteks. Apakah Kompasiana sedang berjalan ke arah yang sama? Lebih jauh lagi, apakah kita sedang menuju era di mana hanya opini yang 'aman' dan 'sesuai selera algoritma' yang bisa bertahan? Jika ya, maka bukankah ini hanya menciptakan ruang gema, di mana hanya satu jenis narasi yang boleh hidup?

sumber: dokumentasi pribadi
sumber: dokumentasi pribadi

Menjadi penulis di zaman sekarang bukan hanya soal menulis. Ini adalah seni menavigasi kebijakan, memahami algoritma, dan memastikan bahwa Anda tidak tanpa sengaja menekan tombol yang salah. Ini seperti menjadi pembalap Formula 1 yang harus memperhatikan setiap belokan dengan cermat, salah sedikit, Anda keluar lintasan. Sebagai pengguna baru di Kompasiana, saya datang dengan antusiasme besar. Saya ingin berbagi pemikiran, berdiskusi, dan berinteraksi dengan komunitas yang berpikiran terbuka. Namun, pengalaman ini membuat saya bertanya-tanya: apakah platform ini benar-benar mendukung kreativitas dan kebebasan berpikir, atau justru menjadi tempat di mana ide harus disaring agar tetap 'aman' bagi semua pihak?

Sebagai pembaca dan penulis, kita punya tanggung jawab untuk terus mempertanyakan sistem yang ada. Jika sebuah platform memiliki kebijakan yang tidak jelas atau terlalu subjektif dalam moderasi, maka penting bagi kita untuk menyuarakan hal tersebut. Bukan demi melawan aturan, tapi demi memastikan aturan itu diterapkan dengan adil dan transparan. Saya masih ingin menulis. Saya masih ingin berbagi ide. Tapi jika ruang bagi pemikiran kritis semakin menyempit, kita harus bertanya: ke mana lagi kita harus pergi?

https://www.kompasiana.com/noerhilman5202/679c5f1634777c73b43940f2/ai-balapan-tanpa-rem-siapa-yang-akan-bertahan
https://www.kompasiana.com/noerhilman5202/679c5f1634777c73b43940f2/ai-balapan-tanpa-rem-siapa-yang-akan-bertahan

Bagaimana pendapat kalian? Apakah kalian juga pernah mengalami hal serupa di platform digital? Mari berdiskusi di kolom komentar!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun