Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri

orang bodoh yang tak kunjung pandai - KH Mustofa Bisri

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hujan, Jejak Waktu, dan Lapisan Makna yang Tak Pernah Luruh

30 Januari 2025   15:16 Diperbarui: 30 Januari 2025   15:16 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://rsppbm.ihc.id/uploads/img_post/img_1811202417319154182WLRK.jpg

Hujan turun tanpa pilih kasih, menyentuh atap istana dan gubuk reyot dengan intensitas yang sama. Ia hadir dalam puisi, mitos, dan berita sebagai latar yang membingkai kisah manusia, kadang sebagai berkah, kadang sebagai pertanda kehancuran. Namun, di balik tirainya yang rapat, hujan menyimpan makna yang jauh lebih kompleks, ia mencerminkan perjalanan sosial, ketimpangan, dan narasi perubahan yang terus berulang dalam sejarah.

Dalam beberapa bulan terakhir, hujan lebat yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia telah membawa dampak yang kontras bagi masyarakat. Di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Semarang, hujan adalah ujian infrastruktur yang sering kali gagal mengatasi debit air yang berlebihan. Banjir yang merendam jalanan hingga pemukiman menjadi pengingat bahwa pembangunan tidak selalu berjalan selaras dengan mitigasi bencana. Sementara itu, bagi masyarakat pedesaan yang bergantung pada pertanian, hujan bisa berarti harapan atau justru ancaman gagal panen jika turun dengan intensitas yang tidak terkendali.

Jika ditarik ke ranah sejarah, hujan telah lama menjadi lebih dari sekadar fenomena meteorologi. Dalam banyak peradaban kuno, ia adalah manifestasi kehadiran ilahi. Dalam mitologi Hindu yang juga berkembang di Nusantara, hujan adalah hadiah dari Dewa Indra, dewa perang dan cuaca, yang bisa membawa kesuburan atau menghukum manusia dengan badai. Begitu pula dalam kisah-kisah rakyat Jawa, hujan sering dihubungkan dengan kebijaksanaan raja atau pertanda pergeseran zaman. Dalam sejarah modern, hujan menjadi saksi peperangan, revolusi, dan perubahan sosial yang tak terelakkan.

Namun, ada satu hal yang tak berubah: bagaimana hujan mengungkap ketimpangan sosial yang mencengkeram kehidupan manusia. Hujan bisa menenangkan mereka yang berada di posisi nyaman, tetapi menghancurkan bagi mereka yang tidak memiliki perlindungan yang cukup. Dalam catatan sejarah, peristiwa banjir besar yang terjadi di berbagai kota dunia tidak hanya membawa bencana alam, tetapi juga menelanjangi realitas sosial yang selama ini tersembunyi di balik tembok-tembok tinggi. Mereka yang memiliki sumber daya dapat bangkit kembali dengan cepat, sementara mereka yang berada di pinggiran hanya bisa menatap langit, berharap hujan tak lagi membawa petaka.

Hujan juga merupakan saksi bisu dari berbagai momen penting dalam perjalanan peradaban manusia. Dalam perang, ia bisa menjadi elemen yang mengubah jalannya sejarah, membatasi gerak pasukan dan menambah penderitaan mereka yang bertempur di garis depan. Dalam dunia industri, hujan bisa berarti ketidakpastian bagi petani yang bergantung pada iklim, menentukan apakah tahun itu akan membawa panen berlimpah atau kelaparan yang meluas. Di zaman modern, hujan bahkan bisa menjadi pengingat tentang perubahan iklim yang semakin tak menentu, di mana intensitasnya tak lagi bisa diprediksi dan membawa dampak yang jauh lebih besar dari yang pernah dibayangkan oleh generasi sebelumnya.

Namun, hujan juga memiliki sisi yang sangat personal. Saya selalu mengingat bagaimana di Bandung, hujan membawa suasana syahdu. Aroma tanah basah, gemericik air yang jatuh dari atap, dan hawa dingin yang menyelimuti kota membuatnya terasa seperti pelukan nostalgia. Ada ketenangan yang hadir saat meneduh di pinggir jalan sambil menikmati secangkir kopi atau sekadar melihat air yang mengalir di jalanan, membawa serta kenangan yang tak tergantikan. Tapi di tempat lain, hujan bisa membawa kekhawatiran. Sejak tinggal di Samarinda, saya merasakan perubahan itu, hujan bukan lagi sekadar suasana yang romantis, tetapi alarm yang membangkitkan kecemasan. Akankah jalanan tergenang? Bagaimana jika banjir datang tiba-tiba? Bagaimana saya bisa menjemput anak-anak dari sekolah jika air naik terlalu tinggi? Kekhawatiran ini bukan hanya milik saya, tetapi juga milik ribuan orang yang hidup di kota-kota rawan banjir, yang setiap tetes hujan bisa berarti ancaman.

Dalam kehidupan sosial, hujan juga menggambarkan bagaimana manusia merespons tantangan yang datang dari luar kendali mereka. Ketika hujan turun, ada yang berlari mencari tempat berteduh, ada yang merayakannya dengan menari di bawahnya, dan ada pula yang hanya diam, menerima kehadirannya tanpa perlawanan. Begitulah realitas manusia, beberapa memiliki kendali atas bagaimana mereka menghadapi perubahan, sementara yang lain hanya bisa pasrah dengan dampak yang ditimbulkan.

Pada akhirnya, hujan bukan hanya air yang jatuh dari langit. Ia adalah cermin dari banyak hal: dari kekuatan dan kelemahan, dari kemewahan dan keterbatasan, dari ketidakadilan dan ketahanan. Hujan adalah elemen yang menyatukan kita dalam kesamaan, tetapi juga menegaskan perbedaan yang mendalam dalam pengalaman kita. Seperti hujan yang turun di kota-kota besar Indonesia saat ini, ia bisa menjadi momen refleksi yang mengingatkan bahwa tak semua orang memiliki atap yang cukup kuat untuk menahan derasnya waktu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun