Pada 10 Januari 2025, Indonesia meraih kemenangan penting di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam sengketa dengan Uni Eropa terkait diskriminasi terhadap minyak kelapa sawit. Panel WTO menyatakan bahwa Uni Eropa telah melakukan diskriminasi dengan memberikan perlakuan kurang menguntungkan terhadap biofuel berbasis sawit dibandingkan dengan produk serupa dari rapeseed dan bunga matahari yang diproduksi di Eropa. Keputusan ini tidak hanya memperkuat posisi Indonesia di panggung perdagangan global, tetapi juga mengungkap paradoks dalam kebijakan keberlanjutan yang selama ini diklaim Uni Eropa.
Sengketa ini bermula ketika Uni Eropa menerapkan Renewable Energy Directive (RED) II yang mengklasifikasikan minyak sawit sebagai "high ILUC-risk" (Indirect Land Use Change-risk), yang berarti bahwa penggunaannya dianggap mendorong deforestasi lebih besar dibandingkan minyak nabati lainnya. Hal ini berdampak pada pembatasan impor produk sawit ke Eropa, memberikan keuntungan kompetitif bagi rapeseed dan kedelai yang diproduksi secara lokal. Namun, data justru menunjukkan bahwa kelapa sawit adalah minyak nabati paling efisien dalam hal produktivitas lahan.
Rata-rata, kelapa sawit mampu menghasilkan sekitar 6,5 ton minyak per hektar, sementara rapeseed hanya menghasilkan 1,3 ton dan kedelai lebih rendah lagi, sekitar 0,7 ton per hektar. Dengan kata lain, untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati global tanpa sawit, dunia membutuhkan lahan hingga 5-10 kali lebih luas jika beralih ke rapeseed atau kedelai. Jika kelapa sawit dilarang, maka deforestasi justru akan meningkat karena lebih banyak lahan yang harus dibuka untuk tanaman alternatif.
Ironisnya, meskipun sawit sering dikambinghitamkan sebagai penyebab utama deforestasi, ekspansi perkebunan rapeseed dan kedelai juga berkontribusi besar terhadap hilangnya tutupan hutan, terutama di Amerika Selatan. Studi yang dilakukan oleh PASPI menunjukkan bahwa perluasan lahan untuk kedelai di Brasil telah menyebabkan deforestasi yang jauh lebih besar dibandingkan sawit di Asia Tenggara. Namun, produk-produk dari kedelai dan rapeseed tetap diterima di pasar Eropa tanpa pembatasan ketat.
Kampanye anti, sawit sering kali menyederhanakan masalah dengan mengabaikan faktor efisiensi lahan dan kontribusi ekonomi bagi negara-negara produsen seperti Indonesia dan Malaysia. Sementara Uni Eropa mengklaim bahwa kebijakannya bertujuan untuk melindungi lingkungan, pada kenyataannya, kebijakan ini juga memberikan keuntungan ekonomi bagi sektor pertanian mereka sendiri. Kemenangan Indonesia di WTO bukan hanya soal keadilan perdagangan, tetapi juga membuktikan bahwa narasi keberlanjutan harus berbasis data, bukan kepentingan ekonomi terselubung.
Menteri Perdagangan Budi Santoso menegaskan bahwa Indonesia akan terus mengawal perubahan regulasi Uni Eropa agar selaras dengan keputusan WTO. Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai kemenangan ini sebagai bukti bahwa Indonesia mampu memperjuangkan haknya di kancah internasional. Namun, tantangan selanjutnya adalah memastikan bahwa pasar global tetap terbuka bagi minyak sawit dengan standar keberlanjutan yang transparan dan berbasis data ilmiah.
Kemenangan di WTO ini seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat standar keberlanjutan dalam industri kelapa sawit. Dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan lahan yang berkelanjutan, meningkatkan transparansi rantai pasok, dan memastikan kepatuhan terhadap standar lingkungan, Indonesia dapat memperkuat posisinya sebagai produsen minyak nabati utama yang bertanggung jawab.
Dunia tanpa minyak sawit bukanlah solusi untuk deforestasi, justru sebaliknya, hal itu dapat memicu deforestasi lebih besar akibat ekspansi lahan untuk minyak nabati lain yang kurang efisien. Dengan produktivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan alternatifnya, kelapa sawit seharusnya diakui sebagai bagian dari solusi, bukan masalah.
Ke depan, Indonesia perlu terus mengedepankan diplomasi perdagangan dan kerja sama internasional untuk memastikan bahwa regulasi global benar-benar berlandaskan keadilan dan data ilmiah. Dengan cara ini, sawit dapat terus menjadi komoditas strategis yang tidak hanya menopang perekonomian nasional, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan global yang lebih berkelanjutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI