Steve Jobs bukan sekadar pendiri Apple, tetapi juga seorang pemikir yang membentuk cara kita berinteraksi dengan teknologi. Ia percaya bahwa inovasi tidak hanya berasal dari kalkulasi bisnis, tetapi dari intuisi, seni, dan bahkan spiritualitas. Salah satu sumber inspirasinya yang paling mendalam adalah buku "Autobiography of a Yogi" karya Paramahansa Yogananda. Buku ini tidak hanya menjadi pegangan hidupnya, tetapi juga mencerminkan banyak prinsip yang dipegang Apple sejak awal.
Jobs membaca buku ini pertama kali pada usia 17 tahun, saat ia sedang mencari makna hidupnya. Setiap tahun ia kembali membacanya, seperti seorang peziarah yang kembali ke sumber kebijaksanaan. Ketika ia meninggal dunia pada tahun 2011, setiap tamu yang menghadiri upacara peringatannya diberikan satu salinan buku ini, sebuah tanda betapa pentingnya buku ini dalam hidup dan pemikirannya. Dari filosofi kesederhanaan hingga pentingnya intuisi, nilai-nilai yang ia pelajari dari buku ini terwujud dalam setiap produk Apple yang ia ciptakan.
Salah satu pelajaran terbesar dari buku ini adalah bahwa intuisi adalah bisikan jiwa, yang lebih berharga daripada sekadar riset pasar. Jobs kerap mengabaikan survei konsumen dan lebih memilih untuk mengikuti instingnya, percaya bahwa orang sering kali tidak tahu apa yang mereka inginkan sampai mereka melihatnya. Itulah yang melahirkan produk revolusioner seperti iPhone, yang pada awalnya diragukan banyak pihak tetapi kemudian mengubah dunia. Dalam dunia di mana teknologi sering kali dikendalikan oleh data dan algoritma, Jobs menunjukkan bahwa ada kekuatan dalam mendengarkan suara batin.
Kesederhanaan juga menjadi nilai yang terus ia junjung. Dalam "Autobiography of a Yogi," Yogananda mengajarkan bahwa keindahan sejati terletak pada kesederhanaan dan ketulusan. Ini tercermin dalam desain Apple yang selalu minimalis, tanpa elemen berlebihan, namun tetap elegan dan intuitif. Dari Mac pertama hingga iPhone modern, prinsip ini tetap menjadi ciri khas yang membedakan Apple dari kompetitornya. Jobs sering kali berkata bahwa kesederhanaan lebih sulit daripada kompleksitas, karena butuh usaha luar biasa untuk menyaring esensi dari sesuatu hingga tersaji dalam bentuk paling murni.
Namun, Apple hari ini berada di persimpangan jalan. Sejak kepergian Jobs, perusahaan ini tetap menjadi raksasa teknologi dengan kapitalisasi pasar yang terus meroket, tetapi banyak yang bertanya: apakah filosofi yang dulu dipegang Jobs masih tetap hidup? Kritik mulai muncul bahwa Apple semakin fokus pada keuntungan daripada inovasi. Peluncuran produk terbaru terasa lebih sebagai peningkatan bertahap daripada revolusi besar, dan beberapa orang berpendapat bahwa perusahaan lebih tertarik mengoptimalkan pendapatan daripada menciptakan produk yang benar-benar mengubah dunia.
Beberapa langkah bisnis Apple juga mulai berlawanan dengan prinsip kesederhanaan dan layanan kepada manusia yang dulu dijunjung tinggi. Misalnya, ekosistem tertutup Apple, yang dulunya dimaksudkan untuk memberikan pengalaman pengguna yang mulus, kini lebih sering dikritik sebagai strategi untuk mengunci pengguna dalam sistem Apple dan memaksimalkan keuntungan perusahaan. Harga produk yang terus meningkat juga menimbulkan pertanyaan: apakah Apple masih berpegang pada nilai "membantu manusia," atau hanya berusaha memperkaya pemegang sahamnya?
Namun, tidak dapat disangkal bahwa pengaruh Jobs dan "Autobiography of a Yogi" masih terasa dalam DNA Apple. Produk-produk mereka masih memiliki sentuhan magis yang mengubah cara orang bekerja dan berkomunikasi. Apple masih mengandalkan desain yang indah, sistem yang intuitif, dan pengalaman pengguna yang unggul. Tetapi tantangan bagi Apple hari ini adalah menemukan kembali semangat inovasi yang tidak hanya berbasis keuntungan, tetapi juga visi besar, visi yang pernah menjadikan Apple lebih dari sekadar perusahaan teknologi, tetapi juga simbol perubahan dunia.
Mungkin, Apple modern perlu kembali membaca "Autobiography of a Yogi," sebagaimana Jobs melakukannya setiap tahun. Sebab, seperti yang dikatakan Yogananda, "Kebenaran hanya bisa ditemukan dalam pengalaman langsung." Dan dalam dunia teknologi yang semakin seragam, pengalaman langsung yang autentik itulah yang membuat Apple istimewa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI