Dalam keyakinan yang saya anut, seorang suami adalah penyedia dan pelindung bagi istri serta anak-anaknya. Bukan hanya dalam aspek finansial, tetapi juga dalam hal keamanan, kesejahteraan, dan kehormatan keluarga. Saya menerima peran itu dengan kesadaran penuh, dan saya bersyukur bisa mengemban tanggung jawab ini. Namun, ada satu hal yang selalu mengusik pikiran saya: bagaimana masa depan anak-anak perempuan kami kelak? Dalam dunia yang semakin berubah, di mana perempuan diharapkan mandiri secara ekonomi, apakah mereka akan diterima jika memilih jalan seperti ibu mereka, tidak bekerja di luar rumah meskipun memiliki pendidikan tinggi?
Istri saya adalah perempuan cerdas dengan pendidikan tinggi. Ia menyelesaikan studi S2 dengan dedikasi yang luar biasa, tetapi pada akhirnya memilih untuk mengabdikan diri sepenuhnya dalam rumah tangga. Keputusan ini bukan karena paksaan atau keterbatasan, tetapi karena keyakinannya bahwa membesarkan anak-anak sendiri adalah tugas yang paling mulia. Saya mendukung sepenuhnya pilihannya, karena saya percaya bahwa kontribusinya dalam membentuk karakter dan masa depan anak-anak kami tidak kalah penting dibandingkan kontribusi finansial dalam rumah tangga.
Namun, dukungan dari dalam rumah sering kali tak cukup untuk meredam suara-suara dari luar. Tekanan sosial datang dari berbagai arah, keluarga, teman, dan masyarakat, yang menganggap perempuan seharusnya memiliki karier agar tidak bergantung pada suami. Pertanyaan-pertanyaan kerap muncul: apakah keputusan ini tepat? Apakah pola pikir yang tertanam dalam keluarga justru akan menghambat anak-anak di masa depan?
Harapan besar tertuju pada kebebasan anak-anak perempuan dalam memilih jalan hidup mereka sendiri. Jika ingin berkarier, dukungan akan diberikan. Jika memilih untuk mengurus keluarga sepenuhnya, restu pun akan menyertai. Namun, ada kekhawatiran yang lebih dalam: bagaimana pandangan masyarakat terhadap pilihan itu? Apakah menjadi ibu rumah tangga akan tetap dihargai, atau justru dianggap sebagai keputusan yang membatasi potensi mereka?
Dunia modern bergerak ke arah yang menuntut kemandirian ekonomi, seolah eksistensi perempuan harus dibuktikan melalui pencapaian profesional, bukan peran domestik. Padahal, kontribusi dalam rumah tangga memiliki nilai yang tak ternilai. Dalam ajaran agama, laki-laki memiliki tanggung jawab utama untuk menafkahi dan melindungi keluarganya—prinsip yang diyakini sebagai bagian dari fitrah seorang suami dan ayah. Namun, realitas sosial tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai ini.
Ketidaksesuaian antara keyakinan dan tuntutan zaman memunculkan dilema: apakah anak-anak akan dihakimi jika memilih peran seperti ibu mereka? Ataukah mereka justru akan dipaksa mengejar karier meski hati mereka condong pada keluarga?
Jawaban dari dilema ini mungkin terletak pada keseimbangan. Pendidikan terbaik tetap menjadi prioritas, bukan sekadar untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi agar anak-anak memiliki pemahaman luas tentang dunia dan pilihan yang tersedia. Kepercayaan diri harus ditanamkan sejak dini, bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh status atau penghasilan, melainkan oleh prinsip yang mereka yakini dan kontribusi yang mereka berikan dalam kehidupan.
Sebagai kepala keluarga, tugas utama adalah menjadi pelindung, penyedia, dan pendukung bagi istri dan anak-anak. Keputusan istri untuk tidak bekerja tetaplah berharga, begitu pula masa depan anak-anak perempuan yang akan memilih jalan mereka sendiri. Dunia boleh berubah, tetapi nilai-nilai yang dipegang teguh akan selalu menjadi kompas dalam membimbing mereka. Jika kelak mereka menghadapi dilema serupa, harapannya mereka akan memiliki jawaban yang kuat, bukan karena sekadar mengikuti arus, tetapi karena memahami sepenuhnya bahwa pilihan mereka tetap bermakna, apa pun itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI