Pada garis pantai yang panjang, di bawah langit musim dingin yang kelabu, ratusan ribu langkah menyisakan jejak harapan di atas pasir. Mereka adalah warga Palestina yang akhirnya pulang, meski hanya untuk menemukan reruntuhan yang dulunya disebut rumah.Â
Setelah bertahun-tahun menghadapi pengungsian paksa, kehilangan, dan trauma kolektif yang tak kunjung mereda, momen ini menjadi simbol perlawanan diam-diam terhadap ketidakadilan yang terus mengakar.Â
Tetapi, di balik setiap langkah itu, dunia yang menyaksikan tampaknya lebih tertarik pada narasi "normalisasi" yang nyaman daripada menantang ketidakadilan yang menyakitkan.
Seperti adegan dalam film pascakiamat, perjalanan panjang ini lebih dari sekadar kepulangan fisik. Ini adalah pengingat bahwa kemanusiaan, yang sering dielu-elukan sebagai nilai universal, tetap saja tunduk pada seleksi politik.Â
Selama dekade-dekade terakhir, Jalur Gaza bukan hanya menjadi saksi kejahatan perang, tetapi juga laboratorium hidup untuk menguji daya tahan manusia.Â
Di bawah blokade yang mencekik, dengan infrastruktur yang dilucuti hingga level paling dasar, Gaza dipaksa bertahan dengan cara yang tak manusiawi.Â
Di sinilah konsep "rumah" menjadi sesuatu yang tak kasat mata, sebuah ide tentang tempat di mana harga diri dan martabat masih bertahan, bahkan jika dinding-dindingnya telah dihancurkan.
Tentu saja, narasi ini sering dilawan dengan diskursus keamanan yang dijajakan oleh para pejabat Israel, yang menyamarkan pengusiran massal dan penghancuran sebagai kebutuhan militer.Â
Dalam dunia di mana narasi mayoritas menjadi kebenaran, hak untuk pulang justru dijungkirbalikkan menjadi ancaman. Dan di sini letak ironi yang paling menyakitkan: orang-orang yang telah diusir dari tanah mereka kini harus meminta izin untuk kembali.Â
Bukankah ini pengingat betapa absurdnya konsep hukum internasional, ketika prinsip-prinsip yang mendasarinya hanya berlaku jika menguntungkan pihak tertentu?