Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri

Penyuka film, sains dan teknologi, sejarah, dan filsafat. Film memberi saya perspektif baru, sains teknologi menarik karena perkembangannya, sejarah membantu memahami perjalanan manusia, dan filsafat mengasah pemikiran mendalam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Jepang ke Indonesia: Ketika Air Menjadi Cermin Budaya

27 Januari 2025   16:35 Diperbarui: 27 Januari 2025   15:48 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://smartwatermagazine.com/blogs/paula-sanchez/ofuro-japans-sustainable-bath

Air adalah salah satu elemen paling mendasar dalam kehidupan, tetapi cara kita memperlakukannya sering kali dipengaruhi oleh budaya dan nilai-nilai sosial yang membentuk pola pikir kita. Jepang, dengan tradisi ofuro-nya, menghadirkan pendekatan yang sangat berbeda dibandingkan dengan cara masyarakat Indonesia memandang penggunaan air bekas.

Di Jepang, ofuro bukan sekadar tempat mandi, melainkan ruang yang mencerminkan filosofi keberlanjutan. Setelah setiap orang membersihkan diri dengan shower, air di dalam bathtub yang digunakan untuk berendam tetap dibiarkan mengalir dalam lingkaran keluarga. Dari orang tua hingga anak-anak, setiap anggota keluarga berbagi air yang sama, bahkan sering kali air ini dimanfaatkan lebih lanjut, seperti untuk mencuci pakaian. Tradisi ini, meskipun tampak tidak lazim bagi banyak orang, diterima dengan baik di Jepang karena didasarkan pada prinsip kebersihan, efisiensi, dan penghormatan terhadap alam.

Sebaliknya, di Indonesia, pandangan terhadap air bekas orang lain sangat berbeda. Banyak masyarakat menganggap air yang telah digunakan oleh orang lain sebagai sesuatu yang kotor atau tidak layak dipakai lagi. Bahkan di keluarga sekalipun, berbagi air bekas untuk mandi sering kali dianggap melanggar kebersihan pribadi. Dalam konteks budaya Indonesia, air membawa nilai kesucian, dan kesucian itu sering kali dihubungkan dengan kebaruan dan kebersihan yang terpisah dari orang lain.

Perbedaan ini tidak hanya mencerminkan pola hidup sehari-hari, tetapi juga cara pandang terhadap keberlanjutan dan sumber daya. Indonesia, sebagai negara tropis dengan curah hujan yang melimpah, cenderung menganggap air sebagai sumber daya yang mudah diakses. Di banyak wilayah, air bersih tersedia dalam jumlah cukup, sehingga kebutuhan untuk menggunakan ulang air tidak terlalu mendesak. Sebaliknya, Jepang, dengan wilayah yang lebih padat dan sumber daya air yang lebih terbatas, membangun tradisi yang menekankan efisiensi dan penghematan.

Namun, di luar faktor geografis, perbedaan ini juga menunjukkan sesuatu yang lebih mendalam: bagaimana masyarakat memandang kebersamaan. Dalam budaya Jepang, berbagi air bukanlah sesuatu yang memalukan, melainkan simbol keharmonisan keluarga. Air di ofuro tidak dianggap sebagai "air bekas", melainkan bagian dari ritual bersama yang menghubungkan setiap anggota keluarga. Ada rasa saling percaya dan penghormatan yang melekat dalam praktik ini, yang mencerminkan solidaritas keluarga Jepang.

Sementara itu, masyarakat Indonesia lebih menekankan pada privasi dalam hal kebersihan pribadi. Berbagi air bekas sering kali dianggap melanggar batasan kebersihan atau bahkan privasi. Pola pikir ini juga berakar pada norma sosial yang lebih luas, di mana batas antara "milik pribadi" dan "milik bersama" sering kali lebih tegas.

Namun, dengan tantangan air bersih yang semakin meningkat, pola pikir ini mungkin perlu dievaluasi kembali. Indonesia menghadapi tekanan besar terhadap sumber daya air bersih akibat urbanisasi, perubahan iklim, dan pengelolaan yang tidak efisien. Dalam konteks ini, mungkin ada nilai yang bisa dipelajari dari tradisi Jepang tentang memanfaatkan air secara berulang.

Tentu saja, mengadopsi pendekatan seperti ofuro di Indonesia tidak semudah mengubah kebiasaan sehari-hari. Ini membutuhkan perubahan mendalam dalam cara kita memandang air sebagai sumber daya yang berharga dan terbatas. Lebih dari itu, ini juga mengharuskan kita untuk mengevaluasi ulang batasan sosial yang kita bangun terkait kebersihan, privasi, dan hubungan antarindividu.

Pada akhirnya, air adalah cermin budaya. Cara kita memperlakukannya mencerminkan nilai-nilai yang kita junjung tinggi, apakah itu keberlanjutan, keharmonisan, atau kebersihan. Jepang dan Indonesia, meskipun berbeda dalam praktik, memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana air dapat menjadi lebih dari sekadar elemen fisik, tetapi juga simbol hubungan kita dengan dunia dan sesama manusia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun