"Hidup adalah penderitaan," kata Buddha. Dan manusia tidak bisa bebas daripadanya. Kita hidup, dan kita menerima itu sebagai suatu keharusan. Kutipan ini, yang diungkapkan oleh Soe Hok Gie, mengandung kebenaran universal yang sering kali kita hindari untuk dihadapi. Penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman manusia. Kita mungkin mencoba menghindarinya, melawannya, atau bahkan menyangkal keberadaannya. Namun, pada akhirnya, penerimaan terhadap penderitaan menjadi langkah pertama untuk menemukan makna di dalamnya.
Depresi, dalam banyak hal, adalah salah satu manifestasi dari penderitaan itu sendiri. Ini adalah kondisi yang tidak hanya melemahkan tubuh, tetapi juga menghantam jiwa. Namun, depresi sering kali membawa pesan yang lebih dalam: ia adalah panggilan untuk berhenti, merenung, dan mencari kembali apa yang benar-benar berarti. Dalam pandangan Viktor Frankl, psikiater terkenal dan penggagas logoterapi, penderitaan adalah jalan menuju pemahaman hidup yang lebih dalam. Frankl, yang selamat dari kamp konsentrasi Holocaust, menyaksikan bahwa bahkan di tengah situasi yang paling kelam, manusia memiliki kemampuan untuk menemukan makna yang memberdayakan mereka untuk bertahan.
Logoterapi, yang berarti terapi melalui makna, menawarkan pendekatan unik terhadap penderitaan. Frankl percaya bahwa hidup selalu memiliki arti, bahkan dalam kondisi yang paling menyakitkan sekalipun. Ketika seseorang dihadapkan pada depresi, ini bukan hanya soal mencoba "keluar" dari kegelapan, tetapi juga menemukan apa yang bisa dipelajari atau diubah dari pengalaman tersebut. Dalam pandangan ini, depresi bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan introspektif yang bisa mengarahkan kita pada pertumbuhan dan perubahan yang lebih baik.
Konsep ini semakin diperkuat oleh Positive Psychology, yang memperkenalkan gagasan tentang post-traumatic growth. Banyak penelitian menunjukkan bahwa orang yang mengalami trauma atau tekanan emosional berat sering kali menemukan jalan menuju kehidupan yang lebih bermakna. Setelah melewati masa-masa sulit, mereka kerap menjadi lebih bijak, lebih tangguh, dan lebih terhubung dengan nilai-nilai yang benar-benar penting. Dalam konteks depresi, ini berarti bahwa penderitaan bisa menjadi pintu gerbang menuju transformasi pribadi yang mendalam.
Namun, untuk sampai pada tahap ini, kita perlu menerima penderitaan itu sendiri. Soe Hok Gie mengingatkan kita bahwa hidup bukan tentang menghindari penderitaan, tetapi tentang menerimanya sebagai bagian dari perjalanan kita sebagai manusia. Penerimaan ini bukan berarti menyerah atau pasrah, melainkan mengakui bahwa penderitaan adalah bagian dari keberadaan kita, dan melalui penerimaan itulah kita dapat mulai memaknainya.
Di sisi lain, stigma yang melekat pada depresi masih menjadi penghalang besar bagi banyak orang untuk menemukan jalan keluar. Dalam masyarakat kita, depresi sering kali dilihat sebagai kelemahan atau tanda kegagalan, bukan sebagai bagian alami dari proses kehidupan. Padahal, membuka diri untuk berbicara tentang apa yang kita rasakan adalah langkah penting untuk memahami dan mengatasi penderitaan. Dukungan sosial, baik dari keluarga, teman, atau komunitas, memiliki peran penting dalam membantu individu melewati masa-masa sulit.
Kutipan Buddha yang diulang oleh Gie bukanlah pesan pesimis, tetapi sebuah panggilan untuk menghadapi kenyataan dengan keberanian. Dalam setiap rasa sakit, ada potensi untuk menemukan kekuatan. Dalam setiap kegelapan, ada kemungkinan untuk menemukan cahaya. Depresi, meskipun menyakitkan, adalah kesempatan untuk berhenti dan memikirkan ulang arah hidup kita.
Kita hidup dalam dunia yang penuh tantangan, tetapi seperti yang dikatakan Frankl, "Hidup tidak pernah kehilangan maknanya, bahkan dalam penderitaan." Depresi mungkin memberitahu kita bahwa ada sesuatu yang perlu diubah---entah itu cara kita menjalani hidup, hubungan kita dengan orang lain, atau bahkan bagaimana kita memandang diri sendiri. Dengan menerima penderitaan sebagai bagian dari hidup, kita tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang.
Hidup adalah penderitaan, itu benar. Tetapi di balik penderitaan itu, selalu ada ruang untuk menemukan makna, pertumbuhan, dan harapan. Pada akhirnya, menerima penderitaan sebagai bagian dari kehidupan adalah langkah pertama untuk benar-benar hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI