Napoleon Bonaparte tidak hanya dikenang sebagai seorang jenderal yang menaklukkan Eropa, tetapi juga sebagai seorang pembaca yang rakus, yang kebiasaannya membaca membentuk cara berpikir, strategi, dan pendekatannya terhadap kehidupan. Dari usia muda, Napoleon telah menunjukkan rasa ingin tahu yang luar biasa. Dia tidak hanya membaca untuk mencari hiburan atau mengisi waktu luang, tetapi untuk memahami dunia dan memperkaya pemikirannya. Baginya, membaca adalah bagian penting dari perjuangan, senjata yang sama pentingnya dengan pedang.
Ketika Napoleon memimpin invasi ke Mesir pada tahun 1798, dia tidak hanya membawa pasukan dan persenjataan, tetapi juga sebuah perpustakaan kecil yang berisi 125 karya sastra penting. Buku-buku itu mencerminkan keragamannya sebagai seorang pemimpin intelektual. Di antara koleksinya terdapat buku-buku filsafat, karya ilmiah, hingga risalah politik. Dia membaca Montaigne untuk memahami manusia, Rousseau untuk mengeksplorasi gagasan kebebasan, dan Montesquieu untuk mempelajari sistem pemerintahan. Dengan begitu, Napoleon tidak hanya bertindak sebagai seorang komandan militer, tetapi juga seorang filsuf yang membawa visi besar tentang dunia dan masa depan.
Keputusannya untuk menyerang Mesir bukan semata-mata didorong oleh ambisi militer, tetapi juga oleh ketertarikannya pada peradaban kuno yang dianggap sebagai akar dari pengetahuan modern. Mesir, dengan piramida, hieroglif, dan patung-patung megahnya, telah lama menjadi sumber inspirasi bagi pemikir Eropa. Dalam konteks inilah, Napoleon membawa para ilmuwan dan akademisi bersamanya dalam ekspedisi tersebut. Mereka tidak hanya bertugas membantu kampanye militer, tetapi juga menggali dan mendokumentasikan kekayaan budaya Mesir. Dari sini lahir Description de l'gypte, sebuah karya monumental yang mengungkapkan detail peradaban Mesir kuno kepada dunia modern.
Gambaran Napoleon berdiri di hadapan Sphinx di Giza adalah simbol pertemuan dua dunia: kekuatan militer modern yang diwakilinya dan kebijaksanaan kuno yang melekat pada Mesir. Sphinx, yang telah berdiri selama ribuan tahun, adalah teka-teki abadi, simbol misteri yang hanya dapat dijawab dengan pengetahuan dan pemahaman mendalam. Dalam lukisan terkenal karya Jean-Lon Grme, "Bonaparte Devant le Sphinx," Napoleon terlihat seperti seorang Oedipus modern yang berusaha memecahkan misteri besar peradaban. Namun, di balik gambaran itu, ada pesan yang lebih dalam: bahwa kekuatan militer saja tidak cukup untuk menguasai dunia; dibutuhkan pemahaman tentang sejarah, budaya, dan pengetahuan untuk benar-benar mencapai keabadian.
Kampanye Mesir, meskipun gagal secara militer, membawa dampak intelektual yang besar. Napoleon mendirikan Institut d'gypte, sebuah pusat penelitian yang menjadi tempat berkumpulnya para ilmuwan dan akademisi untuk berbagi pengetahuan. Ini adalah bukti bahwa Napoleon melihat pendidikan sebagai fondasi bagi kekuatan bangsa. Mesir bukan hanya medan perang bagi pasukannya, tetapi juga laboratorium bagi ide-idenya.
Dalam kehidupan modern, kebiasaan membaca Napoleon menawarkan pelajaran penting. Di era digital di mana informasi begitu mudah diakses, tantangannya bukan lagi menemukan pengetahuan, tetapi bagaimana memanfaatkannya untuk menciptakan dampak yang nyata. Napoleon mengajarkan bahwa membaca bukan hanya tentang menambah pengetahuan, tetapi tentang mengintegrasikannya ke dalam cara berpikir, keputusan, dan tindakan. Inilah yang membuatnya tidak hanya menjadi seorang pemimpin besar, tetapi juga seorang visioner yang memahami kekuatan pendidikan.
Napoleon juga memberikan pelajaran tentang pentingnya rasa ingin tahu yang tak pernah puas. Dari buku-buku yang dibacanya, dia belajar tentang hukum, sains, dan seni perang. Dari sejarah, dia memahami bagaimana peradaban bangkit dan runtuh. Dari filsafat, dia merenungkan hakikat manusia dan masyarakat. Dia adalah contoh nyata bahwa pemimpin yang baik adalah pembelajar seumur hidup, seseorang yang tidak pernah berhenti mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup.
Dalam dunia yang semakin kompleks ini, kita membutuhkan lebih banyak pemimpin seperti Napoleon---orang-orang yang tidak hanya mengejar ambisi pribadi, tetapi juga menggunakan pengetahuan untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Kita juga dapat terinspirasi oleh ketekunannya dalam membaca dan belajar, karena dalam setiap halaman buku yang kita baca, ada peluang untuk menemukan jawaban atas tantangan terbesar yang kita hadapi.
Napoleon Bonaparte, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, adalah pengingat bahwa kekuatan sejati tidak hanya berasal dari senjata atau kekuasaan, tetapi juga dari pengetahuan dan pemahaman. Sebagaimana Sphinx berdiri sebagai simbol keabadian di tengah gurun Mesir, demikian pula kebiasaan membaca Napoleon tetap menjadi warisan yang relevan hingga hari ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI