Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... Administrasi - ASN

orang bodoh yang tak kunjung pandai - KH Mustofa Bisri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Vihara Avalokitesvara: Kisah Tentang Sejarah, Toleransi, dan Interaksi Budaya

25 Januari 2025   16:26 Diperbarui: 25 Januari 2025   16:26 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://majalahteras.com/vihara-avalokitesvara-harmonisasi-kebudayaan

Di sudut tenang Kampung Pamarican, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, berdiri sebuah bangunan megah yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang sejarah dan interaksi budaya. Vihara Avalokitesvara, yang dikenal juga sebagai Vihara Boen Tek Bio, adalah salah satu vihara tertua di Indonesia, sebuah monumen yang memancarkan harmoni antara masyarakat Tionghoa dan lokal di Banten. Lebih dari sekadar tempat ibadah, vihara ini menyimpan cerita-cerita yang merefleksikan nilai toleransi dan kebersamaan.

Sejarah vihara ini bermula pada abad ke-16. Menurut sejumlah catatan, pembangunan vihara diprakarsai oleh Sunan Gunung Jati, seorang tokoh penting dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa. Tahun 1542 disebut-sebut sebagai momen berdirinya vihara ini, yang didedikasikan sebagai hadiah untuk Putri Ong Tien, seorang putri Tiongkok yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Putri Ong Tien datang ke Banten dengan rombongan pengikutnya, membawa tradisi dan kepercayaan dari negeri asal mereka. Dengan berdirinya vihara ini, komunitas Tionghoa di Banten mendapatkan ruang spiritual untuk melaksanakan ibadah mereka. Sunan Gunung Jati sendiri, dengan pandangan visionernya, menunjukkan sikap inklusif yang melampaui batas-batas agama dan budaya.

Namun, perjalanan vihara ini tidak selalu berjalan mulus. Pada tahun 1774, vihara yang awalnya berada di Desa Dermayon harus dipindahkan ke Kampung Pamarican atas perintah Sultan Banten. Keputusan ini bukan tanpa alasan. Wabah penyakit yang melanda wilayah itu membuat Sultan memutuskan untuk memperluas area vihara sebagai bentuk penghargaan kepada komunitas Tionghoa yang membantu mengatasi krisis tersebut. Sultan bahkan memberikan sebidang tanah untuk memastikan keberlangsungan vihara. Tindakan ini menggambarkan hubungan saling mendukung antara Kesultanan Banten dan masyarakat Tionghoa.

Di tahun-tahun berikutnya, vihara Avalokitesvara terus menjadi pusat aktivitas spiritual dan sosial. Ketika letusan Gunung Krakatau memicu tsunami dahsyat pada tahun 1883, vihara ini menjadi tempat perlindungan bagi warga setempat. Menurut kisah yang berkembang, air tsunami yang menghancurkan wilayah Banten seolah "menghormati" area vihara, tidak pernah mencapai altar suci di dalamnya. Kisah ini semakin memperkokoh posisi vihara sebagai simbol perlindungan dan keselamatan.

Dalam catatan sejarah lainnya, vihara juga memainkan peran penting saat wabah penyakit melanda Banten di berbagai periode, seperti tahun 1772-1773 dan 1805-1806. Para penganut Buddha di vihara menggelar ritual khusus untuk mengusir wabah, sebuah praktik yang tidak hanya menenangkan masyarakat, tetapi juga diyakini membawa kesembuhan. Ritual-ritual tersebut menunjukkan bagaimana tradisi spiritual dapat memberikan harapan dan kekuatan di tengah krisis.

Secara arsitektur, vihara Avalokitesvara memancarkan keindahan yang mencerminkan perpaduan budaya Tionghoa dan lokal. Gerbangnya yang dihiasi dengan dua naga melambangkan keseimbangan dan keberagaman. Altar utama didedikasikan untuk Dewi Kwan Im, dewi belas kasih dalam kepercayaan Buddha. Di dalam ruangannya, lilin-lilin besar menyala, menciptakan suasana khidmat yang mengundang siapa saja untuk merenung dan memohon berkah. Vihara ini bukan hanya menjadi rumah ibadah, tetapi juga simbol kerukunan di mana berbagai agama dan budaya hidup berdampingan.

Interaksi antara masyarakat Tionghoa dan penduduk lokal di Banten telah berlangsung sejak lama. Kehadiran komunitas Tionghoa di wilayah ini tercatat sejak abad ke-15, dimulai pada tahun 1407 ketika rombongan saudagar Tionghoa yang dipimpin oleh Tjen Tjie Lung terdampar di muara Sungai Cisadane. Rombongan ini kemudian membentuk komunitas yang menjadi awal dari hubungan erat antara masyarakat Tionghoa dan penduduk setempat. Menariknya, komunitas ini mengadopsi "bahasa ibu" dengan nuansa lokal Tangerang yang khas. Jika ibu dari keluarga tersebut bersuku Sunda, dialek yang digunakan adalah dialek Sunda. Sebaliknya, jika ibunya bersuku Betawi, bahasa yang digunakan pun cenderung mengikuti bahasa Betawi. Hubungan yang harmonis ini semakin kuat melalui pernikahan antara anggota rombongan dan penduduk lokal, menciptakan asimilasi budaya yang erat dan saling melengkapi.

Pada abad ke-16, masa kejayaan Kesultanan Banten menjadi saksi kontribusi besar etnis Tionghoa dalam bidang perdagangan dan ekonomi. Mereka tidak hanya bertindak sebagai pedagang ulung, tetapi juga berperan dalam membuka lahan pertanian dan menjabat sebagai syahbandar, pengelola pelabuhan. Bahkan, beberapa peninggalan budaya mereka, seperti Masjid Pacinan Tinggi, mencerminkan sinergi antara tradisi Islam dan Tionghoa.

Dalam konteks modern, nilai-nilai toleransi dan kerukunan yang terjalin di vihara ini tetap relevan. Saat penulis mengunjungi vihara ini pada tahun 2022 bersama kedua anak saya, pengalaman tersebut memberikan pelajaran berharga tentang keberagaman. Kami bahkan berkesempatan bertemu dengan seorang jemaat yang dengan ramah berbagi perspektif unik tentang bagaimana komunitas di sekitar vihara menjaga harmoni. Ia menceritakan tentang kegiatan sosial yang rutin diadakan setiap malam Selasa, di mana bantuan diberikan kepada masyarakat sekitar tanpa memandang latar belakang agama atau budaya.

Kisah-kisah seperti ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga semangat kebersamaan. Dalam era di mana perbedaan sering kali menjadi sumber konflik, Vihara Avalokitesvara berdiri sebagai pengingat bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan ancaman. Ada teori menarik dari Aan Merdeka Permana yang menyebutkan bahwa Gajah Mada, sosok legendaris Majapahit, memiliki nama asli Ma Hong Foe dan berdarah campuran Tionghoa-Banten. Meskipun belum didukung bukti sejarah yang kuat, teori ini menggambarkan bagaimana identitas budaya di Nusantara selalu bersifat cair dan dinamis. Kehadiran komunitas Tionghoa di Banten sejak abad ke-15 hingga saat ini adalah bukti nyata bahwa Indonesia adalah rumah bagi berbagai etnis yang hidup bersama dalam harmoni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun