Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah status hukum spa menjadi bagian dari jasa pelayanan kesehatan tradisional memunculkan riak kontroversi di tengah masyarakat. Di permukaan, putusan ini tampak sebagai langkah strategis untuk mengangkat nilai kearifan lokal sekaligus mendukung sistem kesehatan berbasis tradisi. Namun, di balik narasi yang tampak mulia ini, muncul pertanyaan tajam: apakah ini benar-benar langkah maju, atau justru sebuah upaya manipulasi hukum demi mempermudah legalisasi bisnis dengan reputasi buram?
Di satu sisi, spa memang memiliki potensi besar dalam menawarkan manfaat kesehatan, mulai dari relaksasi hingga pengobatan alternatif. Di Bali, misalnya, spa menjadi bagian dari daya tarik wisata yang menghadirkan pengalaman budaya sekaligus manfaat terapeutik. Namun, fakta tak terbantahkan bahwa sebagian tempat spa di Indonesia telah lama menjadi kedok bagi praktik prostitusi terselubung menimbulkan kekhawatiran besar. Lantas, apakah putusan MK ini menjadi pengakuan atas potensi tradisional spa, atau malah memberikan ruang bagi praktik ilegal untuk bersembunyi di balik payung hukum baru?
Yang lebih menarik, dengan status spa kini sebagai bagian dari jasa pelayanan kesehatan, muncul sindiran tajam di tengah masyarakat. Jika benar spa dianggap sebagai layanan kesehatan, apakah ini berarti suatu hari nanti masyarakat bisa menggunakan kartu BPJS untuk menikmati pijatan aromaterapi atau mandi uap? Gagasan ini tentu terdengar absurd, tetapi dalam kerangka satir, sindiran ini mengingatkan kita pada risiko pengaburan fungsi dan tujuan sebenarnya dari layanan kesehatan.
Tak bisa dimungkiri, motivasi gugatan yang diajukan oleh 22 pemohon, sebagian besar pengusaha spa, menimbulkan tanda tanya. Dengan perubahan status ini, regulasi menjadi lebih ringan, dan beban pajak yang sebelumnya dikenakan pada tempat hiburan dapat ditekan. Namun, hal ini juga memunculkan risiko besar: legalitas yang diberikan kepada spa sebagai layanan kesehatan dapat dimanfaatkan oleh oknum untuk mengaburkan praktik-praktik ilegal yang selama ini kerap menyertai bisnis tersebut.
Langkah Mahkamah Konstitusi ini idealnya disertai dengan pengawasan ketat terhadap operasional spa di seluruh Indonesia. Pemerintah perlu menetapkan standar yang jelas untuk membedakan mana spa yang benar-benar menjalankan fungsi kesehatan dan mana yang menyalahgunakan status baru ini. Sertifikasi profesional, inspeksi berkala, hingga pelatihan tenaga kerja yang tersertifikasi menjadi keharusan untuk memastikan layanan spa berjalan sesuai koridor hukum.
Di sisi lain, masyarakat pun memiliki peran penting. Jangan sampai klasifikasi baru ini menjadi alat untuk memperdaya publik dengan memberikan wajah baru bagi praktik lama yang melanggar hukum. Laporan dan pengawasan dari masyarakat terhadap aktivitas mencurigakan di sekitar tempat spa dapat menjadi kontrol sosial yang signifikan.
Akhirnya, polemik ini tidak hanya soal status hukum spa. Ini tentang integritas semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, maupun masyarakat. Jika klasifikasi spa ini benar-benar dimanfaatkan untuk mendukung tradisi kesehatan, maka keputusan MK akan menjadi babak baru yang menjanjikan. Namun, jika disalahgunakan, keputusan ini hanya akan menjadi tameng baru bagi praktik-praktik lama yang seharusnya diberantas. Dan kalau sampai suatu hari BPJS benar-benar bisa digunakan di spa, mungkin saat itu kita perlu kembali bertanya: kesehatan macam apa yang sedang kita prioritaskan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI