Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri

Penyuka film, sains dan teknologi, sejarah, dan filsafat. Film memberi saya perspektif baru, sains teknologi menarik karena perkembangannya, sejarah membantu memahami perjalanan manusia, dan filsafat mengasah pemikiran mendalam.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ketika Gelar Akademik Tak Lagi Jadi Jaminan Masa Depan

23 Januari 2025   22:02 Diperbarui: 23 Januari 2025   22:02 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240802173452-92-1128584/5-daerah-dengan-pengangguran-terbanyak-nomor-satu-banten

Siap tahun, jutaan mahasiswa di Indonesia menapaki panggung wisuda dengan gelar akademik yang disandang dengan bangga. Di balik toga dan selebrasi itu, terselip harapan akan masa depan yang cerah---pekerjaan yang mapan, kestabilan ekonomi, dan peningkatan taraf hidup. Namun, kenyataan tak selalu seindah impian. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa ada sekitar 800 ribu sarjana yang menganggur di negeri ini. Angka yang mencengangkan, tetapi lebih dari itu, ia menggambarkan ironi besar: ketika pendidikan tinggi tak lagi menjamin kehidupan yang layak.

Di salah satu unggahan di media sosial, seorang pengguna membagikan pengalaman pribadinya bertemu dengan seorang sarjana berprestasi, memiliki IPK 3,9, tetapi terjebak dalam lingkaran pengangguran. Narasi ini mengungkap lebih dari sekadar masalah individu. Ia adalah potret kecil dari kekacauan sistemik yang lebih besar, di mana sistem pendidikan dan pasar kerja di Indonesia berjalan pada rel yang berbeda, menciptakan jurang menganga di antara keduanya.

Pendidikan, sebagaimana yang sering kita dengar, adalah investasi masa depan. Namun, ketika lulusan baru menghadapi pasar kerja, mereka mendapati diri mereka tak lebih dari angka statistik. Banyak dari mereka merasa tidak "segar" atau siap memasuki dunia profesional, meskipun telah menghabiskan bertahun-tahun mengejar gelar. Apa yang menyebabkan hal ini? Jawabannya mungkin terletak pada cara pendidikan di Indonesia dirancang---terlalu fokus pada teori, sementara keterampilan praktis yang dibutuhkan oleh industri sering kali diabaikan.

Di sisi lain, struktur ekonomi Indonesia turut menyumbang masalah. Hampir 99 persen perusahaan di Indonesia adalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Meski UMKM berperan penting dalam roda ekonomi, kapasitasnya untuk menyerap tenaga kerja terdidik sering kali terbatas. Perusahaan besar yang membutuhkan pekerja dengan kualifikasi tinggi ada, tetapi jumlahnya tak sebanding dengan jutaan lulusan yang dihasilkan setiap tahun. Bahkan, pertumbuhan industri di Indonesia hanya sekitar 3,5 persen per tahun---angka yang jauh dari cukup untuk mengimbangi ledakan jumlah sarjana.

Masalah ini semakin kompleks ketika kita menyadari bahwa Indonesia memproduksi sekitar satu juta lulusan baru setiap tahunnya, sementara kebutuhan tenaga kerja hanya sekitar 500 ribu orang per tahun. Artinya, ada surplus tenaga kerja terdidik. Ini bukan hanya persoalan jumlah, tetapi juga kualitas. Banyak lulusan yang akhirnya terjebak dalam pekerjaan di bawah kualifikasi mereka atau memilih jalur yang sama sekali tak sesuai dengan pendidikan yang ditempuh.

Fenomena ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan. Ketika tenaga kerja terdidik tidak dimanfaatkan dengan baik, potensi besar yang mereka miliki menjadi sia-sia. Lebih dari itu, situasi ini bisa memicu frustrasi sosial yang meluas, terutama di kalangan generasi muda. Bagaimana tidak? Mereka telah menginvestasikan waktu, tenaga, dan uang---terkadang dalam jumlah yang tidak sedikit---hanya untuk menemukan bahwa gelar yang mereka miliki tidak cukup untuk membuka pintu kesuksesan.

Dalam pandangan ekonomi, ini adalah gejala dari pasar kerja yang tidak efisien. Teori ketidaksesuaian (mismatch theory) menjelaskan bagaimana ketidakcocokan antara kualifikasi pekerja dan kebutuhan pasar kerja dapat menciptakan pengangguran. Di Indonesia, ketidaksesuaian ini terjadi di dua sisi: pendidikan tidak memberikan keterampilan yang relevan, sementara struktur ekonomi tidak menciptakan lapangan kerja yang sesuai dengan tingkat pendidikan. Sebuah lingkaran setan yang sulit dipecahkan.

Namun, tidak berarti semua ini tanpa harapan. Situasi ini harus menjadi momen refleksi bagi semua pihak---pemerintah, institusi pendidikan, hingga sektor swasta---untuk bekerja sama memperbaiki sistem yang ada. Pemerintah dapat memulai dengan merancang kebijakan yang mendukung pertumbuhan sektor formal, menciptakan lebih banyak peluang kerja bagi lulusan terdidik. Di sisi pendidikan, institusi perlu mengevaluasi kurikulum mereka, memastikan bahwa setiap lulusan tidak hanya memiliki pengetahuan, tetapi juga keterampilan praktis yang relevan.

Sektor swasta juga memiliki peran penting. Sebagai pengguna tenaga kerja, mereka bisa berkolaborasi dengan universitas untuk menciptakan program magang atau pelatihan kerja yang terintegrasi. Dengan begitu, lulusan tidak hanya datang dengan ijazah, tetapi juga pengalaman yang membuat mereka siap bersaing di pasar kerja.

Yang tak kalah penting, masyarakat juga harus mengubah cara pandangnya terhadap pendidikan dan pekerjaan. Gelar tinggi memang penting, tetapi itu bukan satu-satunya ukuran kesuksesan. Ada banyak jalan menuju keberhasilan, dan terkadang, keterampilan non-akademik seperti kreativitas, kepemimpinan, dan kemampuan beradaptasi jauh lebih berharga di dunia kerja yang dinamis ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun