Di tengah hiruk-pikuk diskusi publik, sebuah wacana mengguncang ranah akademik, lingkungan, dan sosial di Indonesia: kampus akan diberi izin untuk mengelola tambang. Wacana ini menjadi topik hangat yang memancing reaksi beragam dari berbagai pihak, mulai dari rektor universitas hingga aktivis lingkungan. Sebuah pertanyaan besar pun mengemuka: apakah wacana ini adalah peluang emas atau sekadar ilusi manis yang menyembunyikan potensi kerugian besar?
Dalam pandangan Forum Rektor, peluang ini dianggap sebagai pintu masuk menuju era baru pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan mengelola tambang, kampus diharapkan mampu memperkuat kerjasama dengan industri, menciptakan sumber pendanaan tambahan, dan memperkaya kurikulum yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Secara teoritis, argumen ini cukup masuk akal. Di tengah tantangan pendanaan yang sering kali membatasi pengembangan universitas, keterlibatan dalam industri tambang dapat memberikan ruang untuk inovasi dan penelitian yang lebih aplikatif.
Namun, tak semua pihak menyambut hangat gagasan ini. Banyak akademisi justru memandangnya sebagai langkah berisiko yang dapat mengaburkan garis batas antara pendidikan dan bisnis. Bukankah kampus seharusnya menjadi benteng independensi intelektual, bukan mesin ekonomi? Dalam dunia yang semakin kompleks ini, ada kekhawatiran bahwa fokus pada keuntungan finansial dapat mengorbankan misi utama pendidikan, yaitu mencetak generasi yang berpikir kritis dan bertanggung jawab secara sosial.
Lebih jauh lagi, organisasi lingkungan menyuarakan keprihatinan yang mendalam terhadap dampak ekologis yang mungkin muncul. Mereka mengingatkan kita akan jejak panjang kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang yang tak terkelola dengan baik. Risiko bahwa kampus hanya menjadi "stempel akademik" untuk melancarkan eksploitasi sumber daya alam menambah lapisan kompleksitas pada wacana ini. Apa yang akan terjadi jika institusi yang seharusnya menjadi penjaga moralitas justru terlibat dalam praktik-praktik yang merusak lingkungan?
Secara historis, gagasan ini bukanlah sesuatu yang baru. Pada 2016, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) pernah mengusulkan ide serupa kepada Presiden Joko Widodo. Meski tak mendapat respons, usulan tersebut kemudian kembali diangkat kepada Prabowo Subianto pada 2018. Momentum ini akhirnya menemukan pijakan ketika Badan Legislasi DPR RI menyetujui RUU Minerba yang membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk mengelola tambang. Langkah ini, menurut para pendukungnya, bertujuan untuk membuka akses masyarakat terhadap kekayaan alam sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Namun, mari kita berhenti sejenak dan merenungkan lebih dalam. Apakah tujuan ini sejalan dengan kenyataan di lapangan? Di satu sisi, pengelolaan tambang oleh kampus dapat menciptakan lapangan kerja baru, baik langsung maupun tidak langsung. Program studi terkait tambang dapat dirancang lebih relevan dengan dunia kerja, mencetak lulusan yang siap pakai di sektor industri. Tetapi di sisi lain, ada risiko besar bahwa konflik kepentingan akan menggerogoti independensi akademik. Apakah rektor dan dosen bisa tetap objektif dalam mengkritisi kebijakan tambang jika kampus mereka sendiri menjadi pemain dalam industri tersebut?
Selain itu, dampak lingkungan harus menjadi perhatian utama. Sejarah mencatat bahwa reklamasi tambang sering kali menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Meski regulasi di Indonesia telah diperketat dengan standar keselamatan dan penilaian dampak lingkungan yang lebih ketat, kenyataan menunjukkan bahwa banyak perusahaan masih abai terhadap kewajiban ini. Jika kampus terlibat, mereka tak hanya mempertaruhkan reputasi tetapi juga tanggung jawab moral yang jauh lebih besar.
Di tengah dilema ini, pertanyaan lain muncul: bagaimana dengan etika akademik? Kampus adalah ruang untuk mengeksplorasi ide-ide besar yang melampaui sekadar kalkulasi untung rugi. Mengapa kita harus mempercayakan tanggung jawab besar seperti pengelolaan tambang kepada institusi yang seharusnya fokus pada pembentukan karakter dan intelektualitas? Apakah hal ini sejalan dengan nilai-nilai pendidikan yang kita junjung tinggi?
Wacana ini, pada akhirnya, membawa kita pada refleksi yang lebih luas tentang hubungan antara nilai-nilai dan realitas. Dalam era di mana eksploitasi sumber daya alam sering kali menjadi sumber konflik, peran kampus seharusnya lebih sebagai mediator dan penjaga moral, bukan pelaku utama. Pendidikan, ekonomi, dan lingkungan adalah tiga pilar yang saling terkait. Ketika salah satu pilar ini diabaikan, keseimbangan yang rapuh bisa runtuh.
Tentu saja, diskusi ini belum berakhir. Publik harus terus terlibat dalam mengawal wacana ini, memastikan bahwa suara-suara kritis tidak terabaikan. Regulasi yang ketat dan transparansi yang tinggi harus menjadi prasyarat mutlak jika ide ini ingin diwujudkan. Tetapi yang lebih penting adalah menjaga agar kampus tetap menjadi ruang yang bebas dari tekanan ekonomi dan politik, ruang di mana generasi masa depan dapat belajar tanpa dibayangi oleh kepentingan-kepentingan yang merugikan.