Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri

orang bodoh yang tak kunjung pandai - KH Mustofa Bisri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fakta dan Mitos Otak Einstein: Mengungkap Rahasia Kejeniusan dan Neuroplastisitas

21 Januari 2025   13:14 Diperbarui: 21 Januari 2025   13:14 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://magazine.einsteinmed.edu/summer-fall-2023/fire-in-the-brain-neuroinflammation/

Konon katanya, manusia hanya mengakses 10% kemampuan otaknya. Meski hanya 10%, manusia sudah bisa menciptakan berbagai hal luar biasa. Lalu, apa yang akan terjadi jika kita mampu mengakses 100% kemampuan otak? Ide ini pernah diangkat dalam film Lucy, di mana karakter utama, Lucy, tanpa sengaja terpapar obat bernama CPH4 yang meningkatkan kapasitas otaknya secara bertahap dari 20%, 50%, hingga 100%. Dalam film tersebut, Lucy berubah dari seorang wanita biasa menjadi sosok dengan kemampuan di luar nalar, seperti membaca pikiran, telepati, bahkan memanipulasi ruang dan waktu. Namun, benarkah kita selama ini hanya menggunakan 10% kapasitas otak kita, dan apakah Einstein mampu mengakses lebih dari itu sehingga menjadi jenius?

Untuk menjawab mitos ini, mari kita bahas kisah menarik tentang otak Einstein. Setelah Albert Einstein meninggal pada tahun 1955 di usia 76 akibat pembengkakan pembuluh aorta, ia berpesan agar jasadnya dikremasi dan abunya ditebar secara rahasia. Pesan ini dimaksudkan agar ia tidak dikultuskan. Namun, hal tak terduga terjadi saat Dr. Thomas Harvey, dokter patologi yang mengautopsi jasad Einstein, diam-diam mengambil otaknya tanpa izin keluarga. Harvey menyimpan otak tersebut selama 23 tahun hingga seorang jurnalis bernama Steven Levy pada tahun 1978 berhasil melacak keberadaannya. Ditemukan bahwa Harvey telah memotong otak Einstein menjadi 240 bagian dan menyimpannya dalam larutan pengawet. Penemuan ini menjadi viral, dan otak Einstein kemudian dikembalikan ke museum untuk diteliti lebih lanjut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa otak Einstein relatif lebih kecil dibandingkan otak manusia pada umumnya. Namun, bagian belakang otaknya, khususnya lobus parietal, ternyata 15% lebih lebar dari normal. Area ini berkaitan dengan kemampuan visual dan spasial, yang berperan penting dalam memecahkan persoalan fisika dan matematika. Bahkan, otak Einstein memiliki keunikan lain: tidak adanya garis pemisah (sylvian fissure) yang biasanya memisahkan bagian atas dan bawah otak. Hal ini membuat area visual otaknya lebih luas, memungkinkan Einstein untuk memproyeksikan ide-ide kompleks melalui apa yang dikenal sebagai eksperimen pikiran (thought experiments).

Selain itu, Dr. Marian Diamond, seorang pakar otak dari Amerika, menemukan bahwa otak Einstein memiliki lebih banyak sel glial dibandingkan otak normal. Sel glial berfungsi memberikan nutrisi dan melindungi sel saraf, sehingga berperan dalam memaksimalkan kerja otak. Temuan lain juga menunjukkan bahwa corpus callosum, bagian otak yang menghubungkan belahan kiri dan kanan, lebih tebal pada Einstein. Hal ini memungkinkan komunikasi antarbagian otaknya berjalan lebih cepat, yang mungkin menjelaskan kemampuannya tidak hanya dalam sains, tetapi juga seni. Einstein dikenal sebagai pemain biola, dan ia mengaku bermain musik membantunya berpikir.

Namun, apakah keunikan anatomis otaknya menjadi satu-satunya faktor kejeniusannya? Para ilmuwan memiliki pendapat berbeda. Sementara beberapa sepakat bahwa anatomi otaknya memberikan kontribusi, yang lain berpendapat bahwa lingkungan, pendidikan, dan kebiasaan berpikir Einstein juga memainkan peran penting.

Kini, mari kita kembali ke mitos 10% otak manusia. Sebenarnya, ini hanyalah kesalahpahaman yang berawal dari pernyataan William James, seorang psikolog ternama, pada awal 1900-an. James menyatakan bahwa manusia hanya menggunakan sebagian kecil dari potensi mentalnya, tetapi ia merujuk pada kapasitas mental, bukan kapasitas otak secara harfiah. Mitos ini semakin berkembang ketika media salah menginterpretasikan pernyataan tersebut, bahkan mengaitkannya dengan otak secara fisik. Faktanya, penelitian modern menunjukkan bahwa seluruh bagian otak manusia berfungsi, meskipun tidak selalu aktif secara bersamaan. Hal ini memungkinkan para ilmuwan memetakan fungsi setiap bagian otak dengan detail.

Lalu, mengapa ada individu seperti Einstein yang dianggap jenius? Jawabannya terletak pada koneksi saraf di otak. Jumlah koneksi saraf di otak manusia jauh melampaui jumlah bintang di galaksi, dengan sekitar 100 miliar sel saraf yang masing-masing terhubung ke ribuan sel lainnya, membentuk jaringan hingga 100 triliun koneksi. Koneksi ini merepresentasikan memori dan proses berpikir. Ketika kita mempelajari hal baru, koneksi baru terbentuk. Bayangkan bagaimana koneksi ini bertambah pada bayi yang terus mendapat stimulus dari lingkungannya. Rekaman mikroskopis menunjukkan bagaimana dua sel saraf membuat koneksi baru ketika otak mendapatkan stimulus, seperti membaca, belajar, atau bahkan menonton video.

Fenomena ini dikenal sebagai plastisitas otak atau neuroplasticity, di mana otak memiliki kemampuan adaptasi sesuai dengan seberapa sering ia digunakan. Dengan kata lain, otak bukanlah struktur statis, melainkan plastis, yang dapat berkembang seiring waktu. Ketika Einstein sering memikirkan persoalan sains dan hukum alam, struktur otaknya pun berubah, memungkinkan peningkatan kemampuan berpikir. Fenomena ini juga mencakup neurogenesis, yaitu pembentukan neuron baru sebagai respons terhadap pengalaman dan stimulasi berulang. Dengan latihan yang konsisten, otak manusia dapat terus meningkatkan kapasitasnya.

Film seperti Lucy memang memberikan gambaran fiktif tentang kemampuan otak manusia, tetapi tidak sepenuhnya salah. Salah satu informasi yang benar adalah bahwa potensi koneksi saraf di otak manusia sangat besar. Namun, potensi ini hanya dapat dioptimalkan melalui rangsangan dan pembelajaran yang berkelanjutan. Jadi, jika ada pesan yang dapat diambil, itu adalah pentingnya memberi otak stimulus yang tepat dan terus mengasah kemampuan berpikir.

Pada akhirnya, Einstein adalah contoh bagaimana kombinasi genetika, lingkungan, dan kebiasaan intelektual dapat menghasilkan kejeniusannya. Mitologi tentang penggunaan 10% otak manusia telah terbantahkan, tetapi perjalanan untuk memahami kompleksitas otak manusia masih terus berlanjut. Dengan memahami lebih jauh cara otak bekerja, kita tidak hanya bisa mengagumi kejeniusan Einstein, tetapi juga menemukan cara untuk mengoptimalkan potensi kita sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun