Dalam konteks social politik walkout merupakan sebuah tindakan meninggalkan forum pertemuan sebagai bentuk protes, ekspresi kemarahan, dan ketidaksetujuan  atas sebuah keputusan dalam forum yang sedang berjalan. Dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, aksi walkout (WO) ini sangat melekat dengan kaum buruh, biasanya mereka melakukan WO dengan mogok kerja untuk  menuntut adanya perubahan kebijakan dari perusahaan atau pemerintah. Dalam banyak kejadian, aksi WO memang sengaja dilakukan ketika situasi sudah tidak bisa lagi diubah.
Di Indonesia, tidak sedikit kita saksikan aksi mogok kerja yang dilakukan oleh buruh sebagai bentuk kekecewaan dan protes atas sebuah kebijakan. Demikian juga halnya dalam dunia politik, aksi WO juga dilakukan oleh para politisi. Tidak jauh berbeda dengan kaum buruh, aksi WO yang dilakukan oleh anggota DPR selain mengekspresikan protes, juga menyiratkan sebuah sikap "tidak ikut campur, atau tidak ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan. Akan tetapi, tidak sedikit kalangan berpendapat bahwa tindakan ini tidak menunjukan demokrasi yang baik kepada rakyat karena para wakil rakyat memutuskan untuk meninggalkan ruangan rapat, apalagi sebelum voting karena sudah tau akan kalah jumlah. Lebih jauh lagi aksi WO bisa dikatakan sebagai tindakan penyimpangan terhadap pengamalan sila ke empat, "kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan".
Aksi WO dalam iklim negara berdemokrasi bisa dijadikan pilihan, terutama bagi kelompok yang suaranya tidak terwakili dalam kebijakan yang diputuskan. Sebagai perwakilan rakyat, sejatinya jika seorang politisi melakukan aksi ini maka ada kewajiban baginya untuk menjelaskan alasan dibalik keputusan beliau dalam mengambil aksi WO tersebut kepada mereka yang diwakili, agar rakyat memahaminya. Sehingga jika jika ada protes balik oleh rakyat, yang diprotes itu bukan aksinya akan tetapi lebih kepada substansi alasan yang diberikan.
Meskipun aksi WO ini sudah mulai ditunjukan semenjak era orde baru, dimana aksi ini diartikan sangat radikal dimasa itu, sampai hari ini. Namun belum satu pun dari  tindakan tersebut yang mampu mengubah kebijakan yang sudah dibuat. Seperti halnya di Amerika Serikat, aksi WO terlihat tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Bisa dikatakan aksi WO ini tidak banyak menyumbang perubahan yang signifikan bagi kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan. Akan tetapi, ternyata aksi WO ini bisa menjadi trigger kesadaran massif terhadap sebuah isu politik. Sebagaimana yang terjadi di tahun 1968 terkait isu hak-hak imigran yang berhasil memantik demonstrasi yang menginspirasi lahirnya film "Walkout" di tahun 2006.
Meski di Indonesia, aksi WO ini masih samar-samar bahkan belum banyak dipahami oleh masyarakat. Namun jika kita bercermin kepada sejarah politik dunia tidak disangkal bahwa aksi ini bisa menginspirasi sebuah industry guna mengambil keuntungan  dari sebuah gerakan social politik yang potensial untuk menjadi corong dalam mengemukakan pendapat secara positif. Akan tetapi, tentu saja gerakan ini akan lebih berdampak besar jika diikuti oleh literasi  politik yang kuat dari masyarakat. Sehingga apa yang dikatakan oleh Aldon Morris dari Northwestern University, WO merupakan sebuah cara, terutama bagi masyarakat marginal untuk bersuara, menyatakan ketidaksetujuan, dan kemarahan dengan meninggalkan forum dan melanjutkannya dengan demonstrasi", bisa dijadikan pilihan sikap politik.Â
Sementara itu di Indonesia sampai hari ini, sekian banyak aksi WO yang dilakukan akan tetapi tidak ditindaklanjuti dengan "what next". Sehingga yang terjadi  adalah keputusan yang dibuat dan disahkan oleh kelompok lain, yang memiliki kekuatan suara, menjadi final terlepas dari pro kontra yang mewarnainya.
Pada akhirnya kita memahami bahwa, khususnya di dunia politik, kepedulian dan keterlibatan rakyat memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak cara yang bisa rakyat lakukan karena sejatinya ketika masyarakat memahami posisi mereka dalam bernegara dan memiliki kesadaran politik yang baik, maka akan terbangun sinergi yang solid antara rakyat dan anggota dewan yang mereka pilih sebagai garda depan penyampaian aspirasi. Sehingga ketika segala daya upaya yang dilakukan oleh anggota perwakilan di DPR saat sidang menemui jalan buntu, maka rakyat siap maju bersama dalam aksi dukungan yang diharapkan akan menjadi kekuatan dalam mewujudkan cita-cita bersama.Â
Tentu saja kepentingan masyarakat dan bangsa adalah prioritasnya. Akan tetapi jika semua narasi pembodohan yang selama ini didengungkan kealam bawah sadar masyarakat bahwa politik adalah urusan pembesar, sehingga masyarakat berpikir ini bukan urusan kita;" males ah urusan begituan". Â Maka patahlah salah satu roda yang sangat vital dalam berdemokrasi, sehingga demokrasi akan senantiasa terseok-seok dan menjadi senjata bagi mereka yang berkepentingan. Dan aksi-aksi WO yang diambil oleh para politisi tidak akan bermakna apa-apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H