Menjadi mahasiswa bagi sebagian orang kerap dianggap keren, wow, hits, kekinian atau apapun itu. Sebagian dari mereka juga senang dan bangga dengan status itu, namun bagaimana jadinya jika jadi mahasiswa sampai semester tua dan memiliki banyak dilema dalam menghadapi segala hal, belum kelar skripsi, masih ngulang matakuliah, ambil semester singkat, bingung kerjaan, dan lain-lain.Â
Apakah yang demikian masih dianggap keren? Wow? Hits? coba difikir ulang. Menjadi mahasiswa semestinya bukan hanya karena stereotip-stereotip itu. Bagi mahasiswa hendaknya menata ulang niat untuk melanjutkan kuliah, menata niat maksudnya adalah meluruskan kembali niat untuk kuliah ini dengan niat mencari ilmu, karena jika kau niatkan untuk itu jika kau pintar maka pekerjaan yang akan datang kepadamu. Jika kuliah kau niatkan untuk mencari pekerjaan maka jangan salahkan takdir jika kau lulus yang kau lakukan adalah menenteng ijazah untuk mencari pekerjaan, karena memang itu yang kau niatkan.Â
Bagi mahasiswa akhir hendaknya jauh-jauh hari memiliki planning yang jelas dalam melalukan segala sesuatu misalnya, setelah S1 ini hendak lanjut S2, kerja atau menikah saja? pikirkan dengan matang hambatan dan peluang yang mungkin terjadi atas pilihan-pilihan itu. Beberapa mahasiswa kerap mengalami kebingungan ketika mereka telah lulus dari studynya. Itu karena jauh-jauh hari belum ada planing yang jelas.Â
Bahkan, ada juga yang belum ujian sidang skripsi padahal sudah di-ACC oleh dosen pembimbing hanya karena menunggu pacarnya selesai mengerjakan skripsi. Menurut saya pribadi itu adalah hal konyol bagaimana tidak? dia mengabaikan waktu, uang, dan apapun itu demi cinta. Padahal jika menambah semester tentu akan membayar ulang SPP yang bisa jadi itu adalah uang dari orang tua. Ah,,,,,,padahal orang tua menunggu anaknya lekas selesai, malah si anak nungguin pacarnya, dan ternyata cinta dengan pacar mengalahkan cintanya kepada orang tua. Sekali lagi,,,,bagi saya itu hal yang konyol dan gila.
Menjadi mahasiswa semestinya mandiri dan bijak mengambil langkah, menentukan pilihan, bukan malah ikut-ikutan tren yang berakhir pada kebimbangan, tidak jelasan. Karena hakikatnya belajar tentu tidak hanya cerdas secara intelektual namun juga spiritual dan emosioal. Bukan hanya mementingkan hati namun mengabaikan logika, melakukan banyak keinginan namun lupa kebutuhan, menuntut hak-hak namun lupa kewajiban. Bukan demikian teman!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H