Rasanya sudah lama sekali saya tidak menengok Kompasiana, padahal kompasiana merupakan wadah untuk kita menulis dan membaca. Apalagi sebagai seorang guru saya harus memberi contoh kepada para siswa untuk membudayakan literasi di lingkungan pendidikan. Berbicara literasi, saya punya pengalaman menarik terkait dengan kemampuan anak didik saya di sekolah.
Gebyar budaya literasi di sekolah kami baru beberapa bulan ini diterapkan seiring penerapan kembali kurikulum 2013 pada kelas 7. Sama seperti kegiatan literasi di sekolah lain, kami pun mengajak anak-anak untuk membaca, baik di kelas maupun di lapangan atau yang dikenal dengan Readathon. Ternyata, di antara seribuan siswa, tampak baru beberapa saja yang betul-betul serius melaksanakannya.
Saat Readathon pertama kali digelar, di antara mereka ada yang ogah-ogahan ketika disuruh ke lapangan, ada yang hanya membawa buku tulis karena tidak bawa buku bacaan atau tidak punya inisiatif meminjam buku bacaan dari temannya, ada yang membawa kamus, bahkan ada yang lenggang kangkung alias tidak bawa buku apa pun ke lapangan. Saat literasi digelar di kelas pun masih banyak anak yang lebih suka ngobrol atau melakukan aktivitas yang kurang bermanfaat seperti corat-coret di buku atau pura-pura membuka buku saat ada guru yang berkeliling.
Memang benar adanya generasi sekarang kurang suka membaca. Terbukti dengan kegiatan literasi ini yang sepertinya kurang diminati siswa. Tapi kami tidak patah semangat. Kami menunjuk duta baca di setiap kelas. Sistem laporan yang sudah membaca mengikuti sistem MLM, di mana setiap duta baca mempunyai beberapa anggota dan setiap anggota juga membawahi beberapa anggota lainnya dan seterusnya. Setelah mereka selesai membaca mereka menuliskan judul buku dan pengarangnya di atas kertas berwarna berbentuk daun dan ditempelkan di dinding yang sudah digambari bentuk pohon yang dikenal dengan pohon geulis. Setelah itu, para siswa membuat fishbone, yaitu gambar seperti bentuk tulang ikan di mana semua yang dibacanya dirangkum dalam fishbone tersebut; mencakup judul buku, pengarang, alur cerita, dll..
Pada hari Jumat kemarin, kami membuat kegiatan lomba literasi pertama kalinya untuk mengisi waktu luang setelah tes. Kegiatan yang dilombakan adalah lomba pohon geulis, lomba fishbone dan lomba debat. Sungguh luar biasa hasil karya anak-anak di setiap kelas. Mereka sangat antusias menghias kelas dengan pohon geulisnya, juga membuat fishbone yang beraneka warna. Selain gambar fishbone yang dinilai, juga ada lomba memaparkan fishbone tersebut untuk setiap kelas yang paling bagus gambarnya, Pada setiap tingkat (kelas 7 dan 8) dipilih 3 fishbone yang paling bagus. Setiap perwakilan kelas memaparkan gambar fishbone mereka dengan intonasi yang bagus, ekspresi yang bagus dan gaya berbicara yang bagus pula. Sungguh tidak disangka sebelumnya ternyata mereka mampu melaksanakan tahapan lomba dengan sangat baik.
Setelah lomba memaparkan fishbone, dilaksanakanlah lomba debat. Lomba debat ini dibagi dalam beberapa sesi. Setiap sesi terdiri dari perwakilan dua kelas untuk berdebat. Yang mereka perdebatkan adalah hasil membaca mereka. Pertama, siswa yang satu memaparkan apa yang dibacanya, setelah itu memberikan pendapat tentang buku yang dibacanya. Kemudian, pihak lawan mengajukan pertanyaan berkaitan dengan isi bacaan tersebut dan mendebatnya.
Pada beberapa sesi debat, ada yang biasa-biasa saja karena isi bacaannya tentang cerita fiksi ringan, ada juga yang cukup hangat karena yang dipaparkannya bahan bacaan nonfiksi. Yang sangat membuat penulis kagum, ada beberapa siswa yang bisa mengajukan pertanyaan yang menurut penulis masuk kategori HOTS (High Order Thinking Skill) sehubungan dengan bacaan yang dibawakan oleh lawan debatnya.
Saat itu lawan debatnya memaparkan bacaan tentang sistem kerja otak dan siswa penanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang cukup sulit dan hampir tidak bisa dipercaya pertanyaan itu keluar dari mulut seorang siswa kelas 7. Selain bertanya siswa tersebut pun mendebat apa yang dijawab oleh lawannya, dengan (lagi-lagi) paparan ilmiah yang tidak semua orang bisa mencernanya. Ternyata debat bisa dilakukan oleh anak-anak yang menurut kita masih “kecil” dan tidak mungkin bisa.
Dari kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan tersebut, penulis baru sadar bahwa sering kali kita tidak tahu kemampuan seorang anak jika kita tidak berusaha menggalinya; salah satunya dengan sebuah kompetisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H