Alhamdulillah Bandung diguyur hujan yang sudah lama dinanti, segarnya bau tanah basah tercium. Hujan di sore hari membuat kami kedinginan, untunglah tak lama terdengar suara khas pedagang bajigur yang lewat di depan rumah. Tak ketinggalan kamipun memborong makananĀ pelengkap bajigur, seperti CIU singkatan Aci jeung Cau (Tepung kamji dan pisang), COMBRO singkatan Oncom di jero (Oncom didalam), MISRO singkatan Amis di jero (manis didalam), Katimus (Singkong diparut dicampur gula jawa dan dikukus), dan aneka jajanan tradisional lainnya. Sambil menikmati bajigur panas dan makanan-makanan ringan pendampingnya (padahal semuanya termasuk makanan berat karena hampir semuanya terbuat dari olahan singkong), saya kembali mengenang masa kecil. Zaman dulu makanan-makanan inilah yang selalu kami konsumsi dan tersedia banyak di warung-warung ataupun yang dijajakan, baik di lingkungan rumah maupun lingkungan sekolah. Selain mudah didapat, rasanyapun enak karena pada waktu dulu semua makanan/ jajanan tradisional hampir tidak pernah memakai pengawet dan gula jawa yang dipakaipun gula jawa asli. Entah siapa yang pertama menemukan resep makanan-makanan ini, tapi yang pasti kalau dilihat dari segi bahasa saya yakin pastilah orang Sunda. Kembali saya menyeruput bajigur di depan saya, ach... hangatnya menjalar melalui kerongkongan. Tapi ada sedikit yang terasa agak pahit di lidah. Ya, memang rasa pahit itu timbul karena gula jawa yang dipakai dalam bajigur dan makanan pendampingnya sepertinya sudah tak asli lagi. Gula jawa asli biasanya nempel legitnya di lidah. Sayang memang!! Zaman sekarang banyak olahan-olahan yang tidak asli di negara kita ini. Sungguh miris, bagaimana kalau makanan ini dikonsumsi setiap hari oleh kita dan anak cucu kita?? Saya seruput lagi bajigur hangat dalam gelas tersisa, makin banyak yang masuk melalui kerongkongan makin terasa pahit tertinggal di lidah. Mau dibuang sayang, ya akhirnya diminum sampai habis. Kembali saya tatap makanan tradisional diatas meja. Hmmm... andaikan para pedagang masih mempertahankan keaslian bahan-bahan olahan, mungkin akan banyak anak-anak yang menyukainya sama seperti waktu saya kecil. Makanan tradisional ini mungkin bisa dikategorikan sebagai bagian dariĀ kekayaan bangsa yang hampir musnah. Saya takut hak paten makanan tradisional kita ini nasibnya seperti tempe yang saya dengar sudah diklaim oleh bangsa Jepang ataupun rendang yang diaku oleh bangsa Malaysia. Tanggung jawab siapakah mematenkan nama olahan-olahan khas kekayaan kita ini? Dan kewajiban siapakah untuk memberi penyuluhan kepada para pedagang kecil yang notabene sudah mempertahankan keberadaan makanan tradisional kita untuk menggunakan bahan-bahan yang asli? Jangan sampai kita ribut kalau ada bangsa lain yang mengklaim kekayaan kita, baik kesenian, makanan, pakaian, dan lain-lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H