Mohon tunggu...
Yuni Astuti
Yuni Astuti Mohon Tunggu... Perawat - Perawat, sedang belajar merawat hati anak dan keluarga

sedang belajar menulis, ibu dari 4 orang anak, perawat, yun.astuti@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tahun Ajaran Baru, Guru = Wagu lan Saru?

12 Juli 2015   12:38 Diperbarui: 12 Juli 2015   12:38 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bulan Juni-Juli merupakan bulan yang bisa membuat sebagian orang merasakan kerisauan. Terutama bagi orang tua yang mempunyai anak yang baru lulus sekolah dan akan mencari sekolah lanjutan bagi anaknya. Baik anak yang baru lulus TK, SD, SMP ataupun SMA. Ketika menjelang hari H pengumuman kelulusan, orang tua maupun anak akan merasakan deg-degan. Dan mungkin tingkat kecemasan orang tua akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan anaknya. Jangan-jangan anakku tidak lulus..? Dan, rasa deg-degan serta was-was tersebut tidak akan hilang begitu saja ketika sudah diketahui bahwa anaknya lulus ujian. Kerisauan berikutnya adalah ketika menunggu hasil atau nilai ujian. Lulus bukan berarti bisa dengan mudah memilih sekolah lanjutan jika nilai yang diperoleh anak pas-pasan atau bahkan mungkin jauh dari standar harapan orangtua ataupun si anak.

Tak bisa dipungkiri, di zaman yang katanya serba modern dan canggih bahkan katanya zaman "transparan" seperti sekarang ini, isu tentang jual-beli bangku kerap terdengar, terutama bagi sekolah-sekolah favorit. Dan tentu saja pelanggannya adalah  mereka yang mempunyai banyak duit dan mempunyai jabatan penting baik di lingkungan instansi daerah maupun pemerintahan. Yah..itu mungkin hanya sekedar isu, rumor atau berita angin yang mungkin kita tidak akan percaya jika kita tidak melihat atau mengalaminya sendiri.

Bulan Juni-Juli 2015 ini adalah merupakan bulan dimana saya benar-benar mempercayai tentang rumor yang selalu terdengar di lingkungan pendidikan. Tidak hanya sekedar mendengar dari berita, akan tetapi saya melihat dan membuktikannya sendiri, bahwa memang nilai ataupun kompetisi untuk memperoleh bangku sekolah bukanlah persoalan yang sulit, bagi kalangan tertentu.

Pada awalnya, saya lumayan berharap anak saya yang baru lulus SD bisa masuk sekolah sesuai yang diharapkan. Dia sudah bisa mengukur kemampuan dirinya sendiri, tidak ingin masuk sekolah terfavorit di lingkungan kota kecil  kami. Dipilihnya sekolah  "nomor dua", dengan harapan dia bisa diterima di sekolah tersebut. 

Saya akui, anak saya bukanlah anak yang super genius, tetapi juga bisa dikatakan tidak bodho banget. Setiap hari kami memantau perkembangan hasil seleksi di sekolah tersebut, apakah nilainya masuk dalam urutan  kategori yang bisa diterima. Dan, pada akhirnya kami harus menyerah, kuota siswa yang diambil untuk peserta didik baru sudah penuh, sementara nilai anak ada pada urutan di bawahnya. Kami cabut pendaftaran kami dan kami menuju sekolah "nomor tiga". Sayapun bisa menerima kondisi tersebut. Dan ketika kami mencabut, ada salah satu guru yang saya kenal menyatakan penyesalannya " Maaf ya bu, karena memang sistemnya transparan seperti ini.."

"Oooh...tidak apa-apa, saya sangat memahami itu hal itu"

Heran saya, sore harinya anak saya mendapat kabar bahwa temannya yang nilainya juuaauh dibawah dari anak saya justru diterima di sekolah tersebut. Lhadalah...! kok bisa ....!!? sementara pengumuman penerimaan saja belum digelar, masih nunggu dua hari lagi.

Demi menghilangkan rasa kecewa dan rasa penasaran saya, setelah hari H pengumuman saya klarifikasi ke sekolah tersebut tentang bagaimana sistem seleksi penerimaan peserta didik baru. Dan seandainya anda yang menjadi diri saya, anda  pasti akan terkaget-kaget dengan fakta yang memalukan lingkungan pendidikan di negara kita.

Saya berdialog dengan pimpinan sekolah dengan suasana agak sedikit menegang, karena saya dan beliau saling berargumen dan sepertinya sama-sama tidak mau mengalah. Akan tetapi saya membawa bukti-bukti hasil pengumuman, dan beliau juga selalu berargumen seolah-olah sistem penerimaan peserta didik baru benar-benar transparan.

Akhirnya saya keluarkan jurus pamungkas saya,

"Maaf pak, apa memang ada jatah kursi untuk anak-anak para 'penggedhe' (pejabat)? "

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun