Sepertipada tahun-tahunsebelumnya, setiapbulan Desember, tepatnya tanggal satu Desemberselalu diperingati Hari HIV/AIDS sedunia. Tak ketinggalan pula negara tercinta kita, Indonesia. Berbagai agenda yang berkaitandengan pencegahan atau penanganan HIV/AIDS digelar dimana-mana.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan memperingati Hari HIV/AIDS yang hanya satu hari tersebut bisa menurunkan angkapenderita HIV/AIDS? Dalam kenyataanya, angka tersebut justru semakin hari semakin naik saja. Walaupun seiap tahun selalu diperingati melalui berbagai acara.
Bagi saya, peringatan hari-hari khusus semacam itu tidak terlalu penting. Apalagi jika agendanya banyak menyedot anggaran, sementara dilihat dari segi manfaattidak mempunyai pengaruh terhadappenurunan angka penderita HIV/AIDS. Misalnya saja ajang pemilihan waria tercantik. Nah…, tidak ada hubungannya dengan upaya penurunan angka HIV/AIDS khan?
Atau mungkin senam massal dengan mengenakanberbagai atribut yang bertuliskan “ Stop HIV/AIDS..!”. Lhah…, biaya untuk mencetak T-Shirt, Topi, Stiker dan kawan-kawannya itu, yang jumlahnya mungkin ratusan atau bahkan ribuan, apa gak pakai uang ? Belum lagi biaya untuk snack dan makan pagi, ditambah lagi uangsaku untukpejabat yang diundang. Tentunya acara yang kadang hanya sekedar ingin dicatat dalam rekor MURI tersebut menghabiskan biaya yang sangat banyak.
Alangkah bijak jika seandainya anggaran tersebutlangsung disalurkan para penderita HIV/AIDS. Misalnya untuk biaya membeli susu bagi bayi atau balita yang dilahirkan dari seorang ibu dengan status ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Kenapa…? Karena ibu yang sudah jelas terinfeksi virus HIV dilarang memberikan ASInya kepada bayinya. Dikhawatirkan virus yang ada pada ibu bisa ditularkan melalui ASI.
Anggaran untuk peringatan HIV/AIDS mungkin bisa juga dialokasikan untuk biaya screening bagi warga yang beresiko tinggi terkena HIV/AIDS. Misalnya para pekerja seks komersil sekaligus pasangannya, mereka bisa diambil sampel darahnya dan kemudian diperiksa apakah mereka positif terinfeksi atau tidak. Dan jika terdeteksipositif, mereka bisa langsung diberikan tindakan pengobatan untuk menekan pertumbuhan virus HIV.
Masih banyak aksi lain yang kiranya bisa menekan lajuperumbuhan virus yang mematikan tersebut. Mungkin teman-teman Kompasiana masih ingat tentang kontoversiwacana ATM kondom di Indonesia. (baca juga tentang“ATM Kondom, (Mungkin) Sudah Saatnya” ada tulisan saya sebelumnya.Banyak berbagai kalangan yang menentang hal tersebut, dengan alasan bahwa ATM tersebut justru akan menghalalkan seks bebas.
Sebenarnya jika kita mau jujur, apakah remaja kita steril dari masalah seks bebas?Rasa-rasanya justru semakin hari semakin sering kita dengarberita bahwa banyak remaja kita yang berprofeisebagai “ayam kampus”. Bahkan di kota kecil saya saja sering terdengarisu-isu tentangABG yang profesinya tidak jauh beda “ayam kampus”. Kira-kira istilahnya apa ya…? “Ayam sekolah”.. ?
Mestinya pemerintah tidak perlu ragu atau gengsi untuk menerapkanatau mengadopsi beberapa trik jitu negara tetangga dalam menurunkan angka HIV/AIDS . Misalnya negara Thailand. Thailand berhasil menurunkan kasus infeksi HIV sampai 83,42% pada tahun 2003 dengan menjalankan program wajib kondom 100% sejak tahun 1991. Di awal program Thailand hanya mencatat sebanyak 14 % pemakai kondom, tetapi pada taun 1992 meningkatmencapai 90 %.
Yang menarik, untuk mensukseskan program tersebut hampir di setiap tempat umum terdapat pernak-pernik berupa kondom. Misalnya di rumah makan, disetiap meja ada gambar tentang kondom. Atau mungkin bentuk makanan kecil misalnya roti dibentuk menerupai kondom. Kalau di Indonesia, mungkin kita sudah muntah duluan sebelum memesan makanan he..he..
Begitu juga di setiap kamar hotel selalu disediakan kondom untuk seluruh tamu yang menginap. Jadi jangan heran jikadi setiap tempat umum selalu dijumpai ATM Kondom.
Yang lebih mengherankan lagi, di sekolah setingkat SMP anak sudah dikenalkan tentang bagaimana dan kapan saat menggunakan kondom yangtepat dan pentingnya menggunakan kondom. Bahkan sejak kelas satu SMP mereka sudah mendapatkan kurikulum mengenai Sexual and Reproductive Health (SRH).
[caption id="attachment_379573" align="aligncenter" width="560" caption="Bersama teman-teman peserta field trip (dok. pri)"][/caption]
Bahkan mereka juga diberdayakan untuk turut serta memerangi HIV/AIDS melalui kampanye penggunaan kondom. Yang menarik di sini, siswa yang sudah kelas tiga memberikan atau mengajarkan materi SRH kepada adik kelasnya, melalui kelompok-kelompok kecil.
Hal ini baru saya ketahui ketika saya berkesempatan berkunjung di SMP Yupparaj Wittayalai, Thailand dalam rangka field Trip sekaligus menghadiri International Conference mengenai Reproductive Health di Mahidol University, pada Agustus tahun 2010. Mungkin bisa dibayangkan betapa lucunya wajahku saat itu, karena saking herannya diriku dengan adanya fakta tersebut, mungkin bibirku sampai ngowoh.
Foto : Ciangmaigcp2013b.blogspot.com
Program ini dilakukan karena ada fakta yang menunjukkan bahwa 52 % remaja di Thailand telah mempunyai multiple partner dan hanya 23 % yang menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual . Dan rata-rata remaja SMP di Thailand telah menjadi remaja yang aktif secara seksual (sexual active). Apalagi yang SMA ya…?
[caption id="attachment_379575" align="aligncenter" width="538" caption="Nampang di depan Mahidol university (dok.pri)"]
Bagaimana jika remaja wanita di sana terpaksa hamil? Murid wanita yang hamil tidak akan dikeluarkan dari sekolah, karena mereka punya hak atas ilmu yang seharusnya diterima. Mereka tetap bersekolah seperti biasa dan justru mendapatkan pendampingan khusus berkaitan dengan kesehatan selamahamil dan persiapan menjadi orangtua.
Berbeda sekali ya dengan di tempat kita..?
Karena setiap program ada sisi positif dan negatifnya, dan tidak semua program yang berhasil diterapkan di suatu negara (tetangga) bisa diterapkan juga di negara kita. Negara kita masih menjunjung tinggi nilai keperawanan dan adat keTimurannya, sehingga kondom masih sangat tabu untuk dikenalkan kepada murid SMP. Dan lebih pada kekhawatiran tentang dampak negatif daripada manfaat yang bisa dipetik.
Salam sehat,
Sumber pendukung : lsm-kespro.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H