Mohon tunggu...
Am Arhat
Am Arhat Mohon Tunggu... Editor - Penikmat Buku

Penikmat kopi, politik dan buku.. sulawesi24.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kediktatoran Berwajah Populis

1 Desember 2014   16:08 Diperbarui: 28 September 2016   17:21 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada saat kampanye Pilpres Jokowi dan tim suksesnya selalu merepresentasikan diri sebagai seorang sosok demokratis dan merakyat. Kemampuan menyelesaikan masalah seperti saat ia menjabat walikota Solo yang menempuh pendekatan dialogis dan makan siang sebagai jurus jitu menyelesaikan masalah.

Maka tidak heran sebagian besar aktivis 98 dan aktivis yang berkicimpun di LSM berada di barisan terdepan membela jokowi dengan alasan menghindari Indonesia jatuh ke tangan kelompok fasis, sebuah tuduhan yang sering diarahkan pada Prabowo. Untuk menghadang kediktatoran maka perlu mendukung sosok sipil yang merakyat. Untuk menghindari Indonesia kembali ke rezim Orba, aktivis yang selama ini berkontradiksi bisa berpelukan dalam satu tim dengan kelompok yang selama dilawan dengan dalih antifasis.

Misalkan aktivis pro-tembakau dan anti-tembakau, aktivis HAM dan pelanggar HAM, aktivis pro-buruh dan para cukong pro-out sourcing, pro-lingkungan dan para penebang hutan, penculik dan yang diculik reunian dalam tim sebagai dalih antifasis. Selain agenda antifasis juga sebagian dari mereka berharap potongan kue kekuasaan meskipun harus mengalami kekecewaan demi kekecewaan 

Namun apa lacur, beberapa hari setelah Jokowi dilantik polisi telah menangkap penghina Jokowi di jejaring sosial. Seorang tukang sate digelandang ke kantor polisi karena menghina sang presiden terpilih saat masa kampanye Pilpres. Begitu besar kecaman publik terhadap kasus tersebut membuat polisi melakukan penangguhan penahanan. Sang tukang sate beserta keluarga diundang ke istana bertemu Jokowi, drama pun berakhir

Penangkapan sang tukang sate hanya sebagai kelinci percobaan, menjadi alarm bagi masyarakat yang kritis yang selalu bercuap-cuap di media sosial. Publik harus sadar bahwa era kebebasan saat SBY berkuasa telah berlalu, sejelek-jeleknya rezim SBY tapi para pengkritik tidak pernah dibungkam. Kelebihan rezim SBY yang patut kita apresiasi adalah kemampuan untuk bertahan dari kritik tanpa harus memungkam tapi mencari titik kompromi

Pertunjukan tidak behenti disini, sehari setelah pelantikan kabinet, Jokowi lewat tangan Menkumham mensahkan PPP kubu Romi yang tengah berseteru dengan kubu SDA. apa yang dilakukan Mengkumham suatu bentuk pemihakan pada satu kelompok yang tengah berseteru, mestinya menkumham menjadi mediator bukannya berpihak pada satu kelompok. Bisa dimaklumi dengan cara melakukan pemihakan pada suatu kelompok yang berseteru dengan begitu bisa menambah kuantitas Koalisi Indonesia Hebat

Pada kasus kemelut Golkar juga terjadi hal yang sama, penguasa lewat tanga Menkopolhukham Tedjo Edy mengeluarkan himbauan ke polisi agar tidak mengeluarkan izin Rakernas di Bali dengan alasan keamanan. Pemerintah berupaya mengacak-acak partai yang bersebrangan dengan KIH karena Golkar memiliki nilai strategis jika bergabung dengan pemerintah. apa yang dilakukan oleh rezim Jokowi mengigatkan kita pada cara-cara orde baru menyelesaikan kemelut di tubuh partai

Ketidak seimbagan kekuasaan di parlemen membuat Jokowi-JK tidak merasa puas dengan hanya bermodalkan 46,32 persen setelah bergabungnya PPP di KIH. Untuk mengamankan kursi kekuasaan di DPR RI maka partai-partai yang beroposisi dengan pemerintah kemudian dilakukan intervensi. Setelah sukses mengintervensi PPP dengan memberi legalisasi via Mengkumham maka Jokowi-JK melebarkan intvensi ke Golkar lewat proxy pemerintah di kubu Golkar. Intervensi pemerintah mengigatkan kita pada pada PDI kubu Soerjadi vs kubu Mega pada tahun 1996

Pada kenaikan BBM jokowi JK sama sekali tidak memiliki empati pada publik, jokowi hanya mengeluarkan pernyataan bahwa gerakan menolak BBM hanya respon sesaat sebagaimana pernyataan Jokowi di beberapa media “paling marahnya hanya sebulan saja sudah itu mereka pingin foto-foto bareng dengan saya”. Cara jokowi menangani gerakan protes terhadap dirinya mengigatkan kita pada sosok Megawati merepresi para aktivis di tahun 2003. Represi aparat kepolisian misalkan di Riau memukul demonstran hingga kedalam masjid tanpa melepas sepatu, begitupula di UMI Makassar, polisi menembakkan gas air hingga ke dalam masjid.

Ketidak sensitifan rezim Jokkowi-JK pada aksi demonstrasu mengakibatkan jatuhnya korban meninggal, dugaan sementara bawa korban ditabrak oleh water canon dan beberapa kesaksian ditembak dari atas mobil water canon (media). Apa respon presiden atas jatuhnya korban?? Jokowi sekali lagi tak menunjukkan solusi “itukan urusan polisi” sahut Jokowi dari beberapa media online. Jika Jokowi masih menganggap remeh gerakan sosial yang telah menentang kebijakan pemerintah artinya Jokowi telah mengalami kecendrungan pada kediktatoran. Meskipun itu adalah urusan polisi namun institusi Polri ada dibawah kekuasaan presiden.

Memperkuat Oposisi

Kecendrungan kediktatoran Jokowi kembali disentil oleh SBYbahwa pemerintahan yang selalu dibenarkan akan cendrung pada tirani, pencitraan boleh tapi harus berbasis pada kerja.Modal populisme saat Pilpres membuat Jokowi sangat pede membuat kebijakan yang tidak pro rakyat. Pernyataan SBY ini tentunya bukan tanpa dasar, presiden yang memimpin selama sepuluh tahun itu adalah seorang ahli strategi dan tentunya masih memiliki banyak loyalis di pemerintahan. Tentunya SBY memiliki perhitungan yang matang sebelum mengeluarkan pernyataan, jika dirunut peristiwa diatas maka kecendrungan kearah otoritarian sangat terbuka lebar

Apa yang dilakukan koalisi Jokowi di parlemen sesuatu yang sangat tidak beradab, memecah belah parlemen hanya karena keinginan pribadi tidak tercapai. Seruan Jokowi melarang para menteri untuk tidak menghadiri panggilan merupakan pembangkangan pemerintah terhadap DPR.

Kekalahan berkali-kali di DPR membuat Jokowi-JK tidak bisa tidur nyeyak mengamankan berbagai kebijakan maka pemerintah sangat berhasrat membajak Golkar merapat ke koalisi pemerintah. Padahal Jokowi selama kampanye pilpres berkali-kali menyampaikan untuk tidak membangun koalisi gemuk tapi koalisi yang bersifat ideologis. Dengan menarik golkar berarti Jokowi ingin melangengkan kekuasaan tanpa kritik

Kekuatan parlemen yang dikuasai oleh kubu oposisi KMP adalah sesuatu hal yang sehat untuk mengontrol jalanya pemerintahan, keseimbagan kekuatan pemerintah dan oposisi adalah suatu hal yang sehat dalam demokrasi. Jokowi JK tidak perlu takut untuk dihantui penggulingan oleh oposisi di DPR, karena jika kebijakan yang pro rakyat pasti akan didukung oleh rakyat kecuali kalau Jokowi memiliki agenda mengekalkan kekuasaan tanpa kriti.

Untuk mengahadang keangkuhan rezim Jokowi-JK maka yang diperlukan adalah kekuatan rakyat bersatu melakukan control terhadap pemerintah. Modal populisme yang dimiliki Jokowi akan terus merosot jika terus menerus mengambil kebijakan yang tidak merakyat.

Maka gerakan oposisi jalanan (ekstra parlementer) sangat dibutuhkan untuk mencegah Negara jatuh kembali kearah kediktatoran, pemaksaan kehendak seperti ditunjukkan koalisi Indonesia hebat misalkan merupakan tindakan inkonstitusional membuat DPR tidak berjalan karena hanya ambisi tidak tercapai. Maka gerakan sosial saatnya bahu membahu menghadang segala bentuk praktek penyelewengan kekuasaan, maka saatnya beroposisi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun