Kisah Nomaden di Era Modern
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nomaden diartikan sebagai sekolompok orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Biasanya motivasi terbesar untuk berpindah bagi kaum nomaden didorong oleh kebutuhan hidupnya ataupun kondisi tertentu, seperti musim, ketersediaan bahan pangan, maupun suasana ‘politik’ di suatu daerah. Ahli sejarah mengatakan bahwa alasan manusia bisa menjangkau seluruh sudut bumi ini adalah karena setiap manusia memiliki sifat dan karakter nomaden dalam dirinya. Ulama Islam mengatakan nomaden (atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘hijrah’) merupakan suatu proses meninggalkan sifat buruk untuk menuju kebaikan, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika melaksanakan hijrah dari Kota Mekah ke Kota Madinah.
Di negara kita tercinta, desentralisasi ekonomi sejak era reformasi pada tahun 1998/1999 mendorong tumbuhnya pusat ekonomi baru di berbagai daerah, khususnya di wilayah Timur Indonesia. Proses pemekaran spasial dari Kabupaten menjadi Kota, dari kumpulan Kota/Kabupaten menjadi sebuah Provinsi, dan seterusnya, menghasilkan sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang saat ini terdiri dari 34 Provinsi. Tentunya setiap daerah memiliki keunggulan dan keunikannya masing-masing, baik dari sisi kebudayaan, bahasa daerah, pariwisata, dan tentu saja kuliner.
Lalu apa kaitannya dengan nomaden?
Timbulnya pusat ekonomi baru di berbagai daerah mendorong berbagai profit company berlomba-lomba untuk memaksimalkan jangkauan bisnisnya di setiap pelosok daerah. Sebagai contoh, dunia perbankan mencari nasabah dan debitur baru melalui pembukaan kantor cabang baru di setiap daerah. Begitu pula dengan perusahaan fashion, kuliner, dan jasa lainnya yang berebutan membuka outlet baru di pusat perbelanjaan (yang juga tumbuh subur) di berbagai daerah. Fenomena ini tentunya mendorong pergerakan manusia dari satu daerah ke daerah lainnya, khususnya untuk mendapatkan nafkah dan kehidupan yang lebih baik.
Anda seorang pegawai? Selamat! Dalam beberapa tahun terakhir ini, kerap kita dengar istilah ‘mutasi’ yang merefleksikan sebuah ‘nomaden’ di zaman modern. Mutasi seorang pegawai pada umumnya didorong oleh kebutuhan perusahaan yang sedang melakukan ekspansi bisnis. Guna memaksimalkan profitnya, tentunya perusahaan akan memutasikan pegawai terbaiknya ke daerah yang selama ini belum dijangkau, yang nantinya akan dikombinasikan dengan local wisdom dari pegawai lokal. Kombinasi ini diharapkan akan menghasilkan suatu strategi yang maksimal dalam menjual suatu produk dan / atau jasa kepada customer. Buktinya, sering kita dengar bahwa klausula “bersedia untuk ditempatkan di mana saja” merupakan salah satu persyaratan mutlak bagi setiap lowongan yang dibuka oleh perusahaan berskala nasional maupun multinasional. Tidak percaya? Tanyakan saja kepada generasi Y yang sedang mencari pekerjaan.
Nasi Kuning Manado Ala Sang Istri
Bercerita tentang mutasi, Saya pribadi merupakan salah satu pegawai lembaga negara yang dimutasikan dari Ibukota Jakarta ke salah satu daerah di kawasan timur Indonesia, yaitu Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara. Menurut pengalaman yang Saya miliki, menjadi seorang nomaden itu menarik. Pasalnya, kita bisa menikmati beragam kebudayaan dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari mengunjungi objek wisata, belajar bahasa daerah, hingga mencicipi lezatnya berbagai kuliner khas daerah.
Tidak berbeda dengan kota-kota lainnya di Indonesia, Kota Manado juga terkenal dengan berbagai jenis kuliner. Sebut saja Tinutuan (bubur khas Manado), Nasi Kuning Khas Manado, Cakalang Fufu, Klappertaart, Sambal Roa, Paniki, Bumbu RW, Babi Putar, Kakap Woku Asam, Perkedel Nike, dan masih banyak lagi. Sayangnya, tidak semua makanan khas Manado berkategori halal. Seorang muslim yang tinggal di Manado, khususnya kaum pendatang, wajib memeriksa dengan seksama terlebih dahulu sebelum menikmati kuliner khas Manado, karena hanya sebagian kecil rumah makan menjual santapan yang halal. Sebagai muslim pendatang, Saya lebih memilih menikmati makanan yang dimasak oleh Sang Istri di rumah. Selain halal dan higienis, tentunya juga menghemat biaya pengeluaran sehari-hari.
Dari sekian banyak kuliner halal khas Manado, Saya pribadi sangat menyukai Nasi Kuning Khas Manado. Pasalnya, Nasi Kuning Manado berbeda dari Nasi Kuning kebanyakan. Biasanya, dalam sepiring Nasi Kuning kita hanya bisa mendapatkan ‘ornamen’ orek tempe, sepotong paha ayam, telur, dan kerupuk. Lain halnya dengan Nasi Kuning Khas Manado, selain bisa mendapatkan ornamen tadi, kita juga bisa menikmati kelezatan abon ikan cakalang, telur puyuh, tahu isi, kentang balado, bihun goreng, sate hati, dan tentunya sambal khas Manado.
Singkat cerita, dengan berbekal wawancara kepada salah seorang penjual Nasi Kuning Khas Manado yang banyak menjajakan dagangannya di Jl. R.E. Martadinata, Sang Istri kemudian menjadikan dapurnya sebagai laboratorium kuliner. Nasi Kuning Khas Manado sangat cocok disajikan sebagai santapan sarapan sebagai penambah semangat dan tenaga dalam menjalankan padatnya aktivitas sehari-hari. Proses pembuatannya pun mudah. Sama dengan nasi kuning pada umumnya, Nasi Kuning Khas Manado juga menggunakan beras putih, kunyit, dan santan kelapa sebagai bahan dasarnya.