Sebaliknya, gunakanlah media sosial untuk menambah pundi-pundi pahala. Menonton kajian atau ceramah religi saat senggang contohnya. Selain memperoleh informasi yang benar soal tuntunan beragama, bonusnya kita juga bisa menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
Dan tentu saja, jangan lupa ikuti akun yang memuat konten jadwal imsakiyah. Cocokkan jadwalnya dengan menyetel alarm di ponsel. Supaya kamu bisa mengatur waktu berbuka dan enggak kelewatan sahur.
Lagipula, esensi berpuasa itu tidak sekadar menahan lapar dan haus. Esensi berpuasa adalah meningkatkan kualitas ibadah dengan membiasakan diri mengerjakan aktivitas yang bernilai positif.
Dalam konteks itu, media sosial adalah salah satu wadah buat kamu untuk beramal. Misalnya saja dengan menyebarkan informasi soal makna ayat suci Al Quran, atau mengajak orang lain untuk bersedekah ke panti asuhan.
Menebar Cerita Positif Lewat Diari Ramadan
Orang bijak pernah berpesan, “Cara mengurangi dampak negatif dari media sosial adalah aktif menyebarkan konten positif dan kredibel. Supaya isi linimasa media sosial senantiasa dipenuhi hal-hal positif.”
Saya setuju seratus persen dengan pernyataan tadi. Salah satu cara saya menebar positivisme di media sosial selama Ramadan adalah dengan mengikuti kompetisi Diari Ramadan Kompasiana.
Saban kelar buat konten, saya selalu mengeposnya di media sosial. Bahkan, di beberapa tantangan, Kompasiana mewajibkan peserta kompetisi untuk membuat konten secara langsung di Instagram.
Tantangan hari ke-19, contohnya. Peserta diminta membuat konten Instagram Reels dengan tema “Olahraga Saat Puasa”. Saya menyanggupi tantangan itu dengan membuat artikel, yang di dalamnya memuat video berdurasi 60 detik, bertajuk “Tetap Sehat Berpuasa dengan Berolahraga”.
Jadi, mana mungkin kita, peserta kompetisi Diari Ramadan, yang tengah berjuang menggenapi tantangan tiga puluh hari membuat konten secara berturut-turut bisa puasa media sosial?