Jika tidak segera diperbaiki, perilaku social comparison ini bisa merembet ke mana-mana. Mula-mula sekadar keki. Lama-lama jadi depresi. Kalau sudah sampai ke fase ini, muaranya bisa berujung ke tindakan kriminal atau bunuh diri.
Naudzubillah min zalik!
Puasa Media Sosial
Berbagai dampak negatif dari media sosial kemudian menimbulkan gerakan tandingan. Salah satunya adalah berpuasa media sosial yang pada intinya bertujuan untuk menjaga kesehatan mental.
Anggapan ini tidak salah. Paling tidak, itu dibuktikan oleh hasil penelitian Ratnasari & Oktaviani (2019).
Penelitian bertajuk “A Phenomenal Study of Instagram Fasting on Millenial” itu menyimpulkan puasa media sosial dapat bermanfaat meningkatkan produktivitas, fokus, berpikir positif, dan mengurangi perilaku social comparison.
Usai berpuasa media sosial, intensitas mengakses media sosial jadi jauh berkurang. Mereka juga memiliki kecondongan untuk mengikuti akun-akun yang lebih positif, sehingga terdapat perubahan cara pandang dalam mengakses media sosial.
Berbagai manfaat positif tadi membuat banyak pakar dan psikolog menyarankan penderita kesehatan mental berpuasa media sosial. Lantas apakah puasa media sosial adalah syarat mutlak menjaga kesehatan mental?
Tentu saja jawabannya tidak.
Saya lebih setuju dengan sebagian pendapat yang menyatakan kita harus lebih selektif dalam bermedia sosial ketimbang wajib puasa media sosial. Internet sejatinya serupa dengan koin bermata dua. Ada sisi negatif, tetapi jangan lupakan sisi positif.
Selektif bermedia sosial artinya pandai memilah informasi sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan kita. Kalau mengikuti akun media sosial artis ternama ternyata membuat kita jadi rendah diri, ya, jangan diikuti. Sesimpel itu.