Arus informasi yang serba cepat ibarat anak kandung era digital. Cukup bermodal gawai dan kuota internet, kita bisa mendapatkan informasi apa saja dengan begitu mudah.
Mau mencari jurnal kredibel untuk mendukung penelitian, bisa. Ingin menemui produk makanan kucing yang paling sarat gizi, juga bisa. Termasuk melihat jadwal beduk magrib di daerahmu sebagai acuan waktu berbuka saat puasa Ramadan.
Hanya saja, di balik segala kemudahan tadi, digitalisasi juga faktanya banyak menimbulkan kolateral.
Dalam konteks itu, kebenaran informasi menjadi ihwal yang patut dipertanyakan. Bagi sebagian oknum tak bermoral, kecepatan internet seringkali dimanfaatkan untuk menebar dusta untuk kepentingan pribadi. Hoaks, istilah kerennya.
Kominfo mendeteksi sedikitnya 800.000 situs di Indonesia yang telah teridentifikasi sebagai penyebar informasi palsu. Celakanya, tidak sedikit pula masyarakat yang mempercayainya. Bahkan tanpa sengaja ikut menyebarkannya.
Media sosial juga kerap disalahgunakan oleh para pelaku kejahatan finansial. Mulai dari undangan pernikahan palsu, iklan artifisial, hingga SMS yang memuat tautan situs bohong-bohongan. Tujuannya tidak lain membuat korban teperdaya lantas dikuras habis dananya.
Belum cukup sampai di sana, perilaku pengguna sosial juga kian ekspresif. Saya gunakan kata “ekspresif” agar terasa lebih sopan ketimbang “karut-marut”. Misalnya saja perilaku flexing atau pamer kekayaan yang tengah menjamur di kalangan pengguna media sosial.
Bagi mereka yang tidak siap, kesehatan mental jadi taruhannya. Gara-gara sering memelototi linimasa, timbullah perilaku social comparison atau membanding-bandingkan pencapaian diri sendiri dengan kesuksesan orang lain.
Padahal, apa yang terpampang di media sosial belum tentu mencerminkan fakta sebenarnya. Lihat saja kasus Indra Kenz atau Doni Salmanan. Pura-pura kaya untuk menggenapi modus investasi bodong yang gencar dipromosikan.