Saya pun bercerita banyak hal kepada Ibu. Bercerita pengalaman dan drama yang saya alami saat bekerja. Tidak lupa, saya juga meminta didoakan supaya bisa kembali bertugas di Medan.
Sebagai orangtua, Ibu pun memberi beberapa nasihat kepada saya. Yang jelas, Ibu selalu berharap dan berdoa kepada Sang Pencipta agar kehidupan pribadi, karier, dan rumah tangga saya selalu dilekati perasaan bahagia. Kata Ibu, itu yang terpenting.
Dan kami bersyukur, dari segudang cerita yang saling kami bagikan, tidak ada satu pun cerita, pemikiran, atau opini soal politik praktis.
Kendati lini masa tengah disesaki berita bernuansa politik usai partai bermoncong putih mendeklarasikan capres berambut putih, tidak ada satu pun kalimat yang keluar dari saya maupun Ibu tentang ihwal itu.
Dengan kata lain, apa yang kami ceritakan benar-benar berangkat dari sisi emosional. Benar-benar berpijak pada kebutuhan batin. Dan, benar-benar berfungsi sebagai sarana pelepas rindu.
Lebaran Bersama Ibu
Keesokan harinya, tepat pada hari Lebaran, saya bersyukur bisa ber-Lebaran bersama Ibu. Usai salat Idulfitri, kami langsung tancap gas ke rumah Ibu. Meminta restu dan memohon maaf atas salah dan khilaf yang diperbuat.
Suasana Lebaran di rumah kami kian hangat dengan kedatangan kedua kakak saya. Mereka datang bersama pasangan dan anak-anaknya. Berbagi sukacita, kami mengisi waktu dengan bermain petasan.
O ya, soal bermain petasan, itu salah satu yang saya rindukan. Lebih tepatnya aktivitas masa kanak-kanak yang tiba-tiba saya rindukan lagi. Kali ini, saya bermain bersama keempat keponakan saya.
Kebetulan, seluruh keponakan saya laki-laki. Paling dewasa kelas empat SD. Saya takjub, di tengah era disrupsi teknologi digital, ternyata mereka masih berminat melakukan aktivitas fisik macam bermain petasan.