Ada dua alasan mengapa kue Lebaran selalu terasa spesial. Pertama, karena disajikan secara khusus untuk merayakan Hari Kemenangan. Yang kedua, lantaran disantap bersama keluarga tercinta.
***
Dari sisi ekonomi, pelaku usaha kerap memanfaatkan dua alasan sarat emosional itu untuk menjual kue Lebaran. Tak heran, bisnis kue Lebaran terbilang begitu menggiurkan.
Anang, salah satu pemilik toko kue di Tangerang Selatan, seperti dilansir Kompas.com, memprediksi omzetnya bakal naik hingga lima puluh persen. Selain karena faktor kenaikan harga, lonjakan permintaan selama Ramadan dan jelang Idulfitri juga turut melatarbelakangi prediksinya.
Di tingkat konsumen, menyuguhkan kue Lebaran saat Idulfitri telah menjadi nilai kultural. Rasanya belum afdal kalau tidak ada nastar, kastangel, kue salju, atau kue sagu di meja tamu. Rasanya kurang pas kalau belum mengirim bingkisan kue Lebaran kepada rekan bisnis atau sejawat jelang Hari Kemenangan.
Bisa dikatakan, budaya suguh-menyuguhi kue Lebaran bernilai positif. Pasalnya, Nabi mengajarkan kita untuk saling berbagi kudapan. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, Nabi berpesan, jika memasak makanan berkuah, perbanyaklah kuahnya, dan bagikan kepada tetangga.
Selain faktor anjuran Nabi, budaya halalbihalal, mudik, dan saling berkunjung ke handai taulan turut menaikkan derajat kue Lebaran. Untuk menghargai tamu dan saudara yang datang ke rumah, sajian kue Lebaran adalah solusi jitu yang dipilih rumah tangga mana pun di negeri kita.
Untung saja, khazanah kuliner Nusantara begitu melimpah. Fakta itu turut memberi warna dan memperkaya pilihan sajian kue Lebaran di negeri kita. Mulai dari lidah kucing, kue semprit, kue kacang tanah, kue putri salju, nastar, kue sagu, kue satu, kembang goyang, biji ketapang, hingga yang paling klasik: biskuit Khong Guan.