Mohon tunggu...
Adhi Nugroho
Adhi Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Blogger | Author | Analyst

Kuli otak yang bertekad jadi penulis dan pengusaha | IG : @nodi_harahap | Twitter : @nodiharahap http://www.nodiharahap.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Peta Jalan atau Jalan di Peta?

14 September 2019   14:16 Diperbarui: 14 September 2019   14:25 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Industri nasional tengah bersiap menghadapi era digital. Tahun lalu, pemerintah baru saja meluncurkan peta jalan Making Indonesia 4.0. Ada sepuluh strategi prioritas dan lima subsektor manufaktur unggulan yang termaktub dalam panduan tersebut.

Setelah setahun berselang, sejauh mana efektivitas cetak biru tersebut berjalan? Sebelum jauh menilai, mari kita cermati dua fakta berikut.

Pertama, teknologi digital kita baru menyentuh sektor jasa. Ini terbukti dari menjamurnya layanan berbasis permintaan (on-demand services), pasar daring (online marketplace), dan teknologi finansial (tekfin) dalam lima tahun terakhir.

Di satu sisi, tentu saja kita patut berbangga. Apalagi, saat ini kita sudah melahirkan 4 perusahaan rintisan berlabel unicorn---paling banyak se-Asia Tenggara. Jutaan lapangan kerja tercipta, ratusan produk kuliner lokal merajai pasar Nusantara.

Namun pada sisi lain, kita juga tidak boleh berpuas diri. Dampak digitalisasi sektor jasa terhadap ekonomi nasional nyatanya masih sebatas potensi.

Terakhir, BPS mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 masih ditopang oleh tiga sektor konvensional: manufaktur, pertanian, dan perdagangan. Ketiganya menyumbang hampir setengah (46,04 persen) capaian PDB nasional. Sektor jasa? Hingga kini masih berkutat di bawah 5 persen saja.

Kedua, sektor manufaktur kita belum sepenuhnya siap menantang era digital. Ini terbukti dari nilai Indonesia Industry 4.0 Readiness Index (INDI 4.0) yang masih bercokol di angka 2,14 dari maksimal 4. Artinya, tingkat kesiapan kita masih sedang-sedang saja.

Padahal, indeks yang baru saja terbit pada April lalu berasal dari self-assesment 323 korporasi manufaktur terbesar di Indonesia. Sekilas tampak biasa. Padahal menyedihkan. Sebab analoginya begini: kalau yang kelas kakap saja belum siap, apa kabar industri kelas teri?

Sekarang, mari kita ambil satu contoh. Majalaya, misalnya. Sentra produksi kain tenun di Jawa Barat itu tetap setia menggunakan metode jadul atau tradisional.

Masih jauh panggang dari api bila berbicara soal mesin robotik. Sebab hingga kini, masih ada ratusan pabrik di Majalaya yang mengandalkan produksinya dari putaran roda kayu alat tenun bukan mesin (ATBM).

Proses pembuatan kain tenun dengan ATBM di Majalaya, Jawa Barat. Foto: Tempo.co.
Proses pembuatan kain tenun dengan ATBM di Majalaya, Jawa Barat. Foto: Tempo.co.

Padahal, ekspor Jawa Barat sangat bergantung pada tekstil. Pada 2017 saja, pangsa ekspor tekstil dan produk tekstil mencapai seperlima dari total nilai ekspor Jawa Barat---paling tinggi dibanding kelompok barang lainnya.

Hanya saja, sampai sekarang belum ada tanda-tanda modernisasi (apalagi digitalisasi) industri tekstil di Majalaya. Alhasil, daya saing produk manufaktur kita semakin jauh tertinggal.

Ingat, Majalaya ialah satu contoh belaka. Kita belum berbicara tentang sentra batik Pekalongan. Kita juga belum menyinggung industri tekstil di Solo ataupun perakitan mobil di Cikarang.

Bila kondisi ini terus dibiarkan, jangan harap mimpi menjadi negara 10 besar ekonomi dunia pada 2030 nanti bisa tercapai.

Belajar dari Tiongkok dan Singapura

Kalau boleh jujur, langkah pemerintah menerbitkan Making Indonesia 4.0 sudah sangat tepat. Meskipun sedikit tertinggal dibanding negara lain, paling tidak, kita sudah menuju ke arah yang benar.

Hanya saja, supaya peta jalan tersebut benar-benar dijadikan kompas oleh pelaku industri nasional, kita perlu belajar banyak dari negara lain. Tiongkok dan Singapura, contohnya.

Bukan apa-apa, untuk lingkup Asia, sektor manufaktur kedua negara tersebut dinilai paling siap menghadapi era digital. Kesimpulan itu bisa kita tarik setelah menilik kajian A.T Kearney bertajuk Readiness for The Future of Production Report 2018.

Peta kesiapan negara di kawasan ASEAN dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Grafik: A.T. Kearney sebagaimana dikutip oleh Kemenperindag.
Peta kesiapan negara di kawasan ASEAN dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Grafik: A.T. Kearney sebagaimana dikutip oleh Kemenperindag.

Pada intinya, A.T. Kearney mengukur kesiapan 100 negara dalam menghadapi industri 4.0 berdasarkan dua faktor utama: struktur dan pemicu. Kemudian, seluruh negara dibagi ke dalam 4 kuadran sesuai dengan tingkat kesiapannya. Tingkat tertinggi disebut leading, diikuti dengan high potential, legacy, dan nascent.

Baik Tiongkok maupun Singapura, keduanya sama-sama masuk kuadran leading. Indonesia? Maaf, kita masih bertengger di kuadran paling buncit---nascent---bersama dengan 52 negara lainnya.

Lantas, faktor apa saja yang menyebabkan Tiongkok dan Singapura unggul? Dan, apa yang bisa kita adopsi dari sana? Paling tidak ada tiga hal.

Pertama, dukungan pendanaan. Di Tiongkok, mayoritas pendanaan modal ventura berasal dari negara. Nantinya, perusahaan modal ventura tersebut akan membenamkan dananya pada start-up potensial.

Pada 2016 saja, sekitar 35,3 persen pendanaan ditopang oleh Pemerintah dan BUMN. Yang menarik, pendanaan bukan hanya berasal dari pemerintah pusat, tetapi juga dari pemerintah daerah.

Dampaknya, jumlah perusahaan rintisan Tiongkok tumbuh pesat. Dari semula 1,76 juta pada 2010, menjadi 5,53 juta pada 2016.

Bahkan, hingga akhir 2017, sudah ada 59 start-up berlabel unicorn dari Negeri Tirai Bambu. Paling banyak di dunia setelah Amerika Serikat (AS) yang punya 109 unicorn.

Kondisi ini jauh berbeda dengan Indonesia. Mayoritas pendanaan perusahaan rintisan kita masih berasal dari luar negeri. Jangankan pemerintah, BUMN saja belum ada yang berani mendanai start-up lokal. Padahal, sama seperti Tiongkok, potensinya sungguh besar.

Kedua, ilmu pengetahuan. Alasan utama mengapa Singapura menjelma menjadi negara paling maju di bidang digitalisasi industri adalah pendidikan. Financial Times menempatkan Nanyang Technology University Singapura pada posisi nomor tiga universitas terbaik se-Asia Pasifik.

Selain itu, untuk menyerap teknologi dari luar, Singapura pandai memainkan posisinya sebagai tuan rumah Industrial Transformation Asia Pasific (ITAP) trade show---pameran teknologi tahunan terbesar se-Asia.

Dalam pagelaran tersebut, berbagai penyedia teknologi nomor satu di dunia tumpah-ruah memamerkan inovasinya. Isu-isu digital terkini seperti keamanan siber, industri pintar, hingga kecerdasan buatan dibahas tuntas.

Dari sana, pelaku industri Singapura banyak belajar. Proses adopsi dan asimilasi teknologi pun berjalan kencang.

Alhasil, meski hanya 100 km2 lebih luas ketimbang Jakarta, Singapura didaulat sebagai negara Asia paling kompetitif selama 7 tahun berturut-turut (The Global Competitiveness Report 2018).

Terakhir, inklusivitas. Peta jalan revolusi industri kita, Making Indonesia 4.0, baru fokus pada sektor manufaktur saja. Itu pun belum semua. Masih terbatas pada lima subsektor unggulan: makanan & minuman, tekstil & busana, otomotif, elektronik, dan kimia.

Kondisi ini jauh berbeda dengan Singapura. Dalam cetak birunya---Industry Transformation Maps (ITM)---ada enam klaster industri yang tengah dipicu dan dipacu. Manufaktur, hanyalah satu di antara lima bidang lainnya: lingkungan, perdagangan, layanan domestik, jasa modern, dan gaya hidup.

Kalau ingin maju, kita pun tidak boleh setengah-setengah. Meskipun implementasinya bertahap, paling tidak, potret besarnya sudah tersedia. Bukan dirombak, diperbaiki, atau diganti setiap lima tahun sekali.

Berharap pada Palapa Ring

Banyak jalan menuju Roma. Terlepas dari segudang catatan yang masih perlu dibenahi, sebaiknya kita fokus memanfaatkan keunggulan.

Akses internet, misalnya. World Bank mencatat, harga kuota data internet kita hanya setengah dari rata-rata harga internet di ASEAN.

Rata-rata, kita cukup merogoh kocek senilai 3,4 Dolar AS untuk menikmati 500 megabytes kuota internet. Jauh lebih murah ketimbang Malaysia (26 Dolar AS), Singapura (11,8 Dolar AS), atau Tiongkok (6,2 Dolar AS).

Keunggulan ini bisa dimanfaatkan oleh pelaku industri nasional. Hanya saja, kita masih perlu memangkas ketimpangan akses internet, khususnya di kawasan barat dan timur Indonesia.

Peta kesiapan negara di kawasan ASEAN dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Grafik: A.T. Kearney sebagaimana dikutip oleh Kemenperindag.
Peta kesiapan negara di kawasan ASEAN dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Grafik: A.T. Kearney sebagaimana dikutip oleh Kemenperindag.

Oleh karenanya, kita sungguh-sungguh berharap pada keberhasilan Palapa Ring. Megaproyek senilai hampir Rp 10 triliun itu digadang-gadang menjadi tulang punggung serat optik nasional, membentang dari ujung barat hingga timur Nusantara.

Andai benar rampung akhir tahun ini, ribuan desa siap menikmati akses internet cepat. Puluhan ribu industri kecil mampu memanfaatkan kemudahan ini.

Paling tidak, chatbot---teknologi obrolan berbasis robot yang semakin digemari pasar, bisa segera diadopsi oleh industri ritel lokal untuk memasarkan produknya secara lebih cepat dan tepat sasaran.

Namun demikian, itu masih perlu didukung oleh berbagai insentif lanjutan. Pajak murah, kemudahan perizinan, dan aksesibilitas ekspor adalah tiga di antaranya.

Dengan begitu, masa depan industri nasional jadi lebih cerah. Sebab Making Indonesia 4.0 yang sudah susah-payah dibuat, benar-benar difungsikan sebagai peta jalan---bukan sekadar "jalan di peta". [Adhi]

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun