Mohon tunggu...
Nodievel Steven Kwaitota
Nodievel Steven Kwaitota Mohon Tunggu... Lainnya - singkat

Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Atma Jaya Makassar. Sekaran berprofesi sebagai Analis Perkara Peradilan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2022, Komitmen Mahkamah Agung Hadirkan Keadilan Kepada Korban Tindak Pidana

24 Desember 2024   10:46 Diperbarui: 24 Desember 2024   10:46 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

p.p1 {margin: 0.0px 0.0px 0.0px 0.0px; font: 13.0px 'Helvetica Neue'} li.li1 {margin: 0.0px 0.0px 0.0px 0.0px; font: 13.0px 'Helvetica Neue'} span.s1 {font: 9.0px Menlo} ul.ul1 {list-style-type: disc}

Konsep pemidanaan yang selama ini dianut dalam proses penegakan hukum dan keadilan adalah sistem pemidanaan dengan menekankan kepada hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana. dikenal dengan nama sistem pemidanaan retributif, pemidanaan retributif menekankan kepada pemberiaan nestapa kepada pelaku tindak pidana sebagai bentuk pembalasan atas kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku. konsep pemidanaan retributif merupakan konsep bawaan dari teori klasik pemidanaan yang diprakarsai oleh Imannuel Kant. Kant menganggap satu alasan utama di mana pemidanaan itu dijatuhkan karena si pelaku telah melakukan kesalahan. dalam beberapa pandangan, konsep pemidanaan retributif ini memiliki beberapa ciri, diantaranya :

  • Menekankan kepada pembalasan kepada pelaku
  • memberikan efek peringatan kepada pelaku akan ganjaran yang diterima jika melakukan tindak pidana
  • pemidanaan dianggap selesai dengan diberikannya hukuman kepada pelaku tindak pidana

Namun, pasca diundangkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional tahun 2023, roh pemidanaan yang sebelumnya menekankan kepada teori pembalasan atau retributif mulai ditinggalkan dan dialihkan kepada konsep pemidanaan restoratif. dikenal dengan nama Keadilan Restoratif (Restorative Justice), teori ini memberikan penyelesaian suatu perkara tindak pidana dengan mempertemukan Pelaku, Korban dan Keluarga Korban untuk mencari jalan terbaik penyelesaian perkara pidana sehingga dapat mengembalikan kondisi korban, keluarga, dan masyarakat kepada keadaan semula. dengan kata lain keadilan restoratif tidak semata-mata menekankan kepada pemberian pidana kepada pelaku, namun juga memikirkan bagaimana agar korban dari tindak pidana dapat mendapatkan hak-hak dan juga pemulihan akibat menjadi korban tindak pidana.

Bahkan sebelum diundangkannya KUHP nasional, Mahkamah Agung (MA) sebagai salah satu tonggak keadilan telah memberikan perhatian yang mendalam terhadap persoalan pemenuhan hak-hak korban tindak pidana. dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana, arah dan prosedur pemberian Kompensasi dan restiusi kepada korban tindak pidana menjadi lebih jelas dan terarah. dalam perma yang disebutkan diatas tersebut, 2 elemen utama yang menjadi inti dari peraturan tersebut yaitu terkait Kompensasi dan Restitusi. dalam Pasal 1 angka (1) perma tersebut yang dimaksud dengan Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga, sedangkan Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tindak pidana tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.

Dalam Perma ini Mahkamah Agung mengatur hak-hak korban apa saja yang dapat diajukan restitusi maupun kompensasi seperti ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan, penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikolagis; dan/atau, dan hak-hak lainnya. Dalam permohonan pemberian ganti rugi berupa restitusi maupun kompensasi, Mahkamah Agung melalui Peraturan ini memberikan tata cara dan prosedur yang runut mulai dari pengajuan permohonan, pembayaran sampai kepada penitipan uang ganti kerugian di kepaniteraan pengadilan.  selain itu yang menarik untuk menjadi sorotan adalah persoalan penggabungan permohonan. Pemohon dapat menggabungkan pengajuan permohonan kompensasi secara bersamaan dengan pengajuan permohonan restitusi. Permohonan tersebut wajib diajukan melalui LPSK dan diajukan sebelum atau dalam tahap persidangan terhadap pelaku tindak pidana.

Bahkan dalam Perma ini bukan hanya korban maupun keluarganya yang dituntut untuk proaktif memperjuangkan haknya, aparatur pengadilan juga diwajibkan untuk mengupayakan adanya pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban. dalam pasal 8 ayat (4) dikatakan bahwa Hakim memberitahukan hak Karban untuk memperaleh Restitusi yang dapat diajukan sebelum Penuntut Umum mengajukan tuntutan atau setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Dengan adanya Perma menunjukan bahwa semangat Mahkamah Agung untuk memenuhi rasa keadilan terlebih kepada korban tindak pidana bukan merupakan argumentasi belaka, namun merupakan komitmen yang telah diwujudkan dalam aksi nyata demi tegaknya hukum dan keadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun