UU No 22 Tahun 2009 pada Pasal 1 ayat 21 menjelaskan Perusahaan Angkutan Umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum.
Jujur, saya masih belum mengerti tentang tata cara penggunaan ataupun pemesanan transportasi dengan berbasis piranti lunak. Maklum di tempat saya di kota Medan, sarana transportasi yang bisa dipesan secara online yang katanya ramah, dan sebagai pemberi solusi dijalanan ibukota Jakarta ini belum terlalu sangat populer seperti yang ada dipemberitaan media yang fokus dan berdampak sekali pada kota Jakarta. Menurut saya pribadi, Go-Jek belum terlalu "mengena" untuk masyarakat kota Medan. Masih banyak masyarakat yang masih memilih dan menggunakan angkutan umum ataupun becak bermotor sebagai kendaraan umumnya. Tapi disini saya tidak ingin menulis tentang persepsi masyarakat akan pemilihan moda transportasi umum. Disini saya ingin menuliskan lebih ke secara penelaahan saya akan UU No.22 Tahun 2009 yang sangat heboh diberitakan akan keputusan bapak Menteri Perhubungan kita, Ignasius Jonan. Bukan saya pro akan keputusan bapak ini, bukan berarti juga saya kontra akan Go-Jek yang mencoba mencari solusi akan kemacetan Ibukota.
Kalo dilihat dari Pasal 1 ayat 21, disini saya masih mempertanyakan Go-Jek ini sebenarnya transportasi umum atau bukan? Belum Jelas. Seharusnya Go-Jek, Grabike, Uber, ataupun perusahaan transportasi yang katanya memberi solusi ini harus ada dan jelas pengelompokkannya seperti tertera pada Pasal 47 UU No.22 Th 2009.
Tapi secara sederhananya, Mengangkut penumpang yang membayar sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan itu dapat disebutkan sebagai angkutan umum.
Tapi saat ditanya Go-Jek, GrabBike, Uber atau yang lainnya apakah mereka angkutan umum? "Gojek itu bukan perusahaan transportasi. Gojek berdiri sebagai perusahaan peranti lunak. Organda dan Dishub salah tangkap persepsi soal jenis perusahaan Gojek," ujar pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, saat acara CNN Indonesia Fokus, Kamis (6/8)."
Bila kita melihat pada pasal 2, ada beberapa asas yang menurut saya cocok untuk perusahaan piranti lunak ini. Namun pada asas berkelanjutan, terbersit oleh saya sampai kapan asas berkelanjutan ini diterapkan?
Bapak presiden kita saat ditanyakan tentang sampai kapan kelanjutan penggunaan transportasi berbasis piranti lunak ini mengatakan, "Sepanjang itu dibutuhkan masyarakat, saya kira tidak ada masalah," kata Jokowi di Istana Bogor, Jumat, 18 Desember 2015. "Aturannya bisa transisi sampai misalnya transportasi massal kita sudah bagus, transportasi massal kita sudah nyaman, secara alami orang akan menentukan pilihannya."
Pada pasal 138 ayat 3, "Angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum." Jika Gojek, GrabBike, Uber dan lainnya merasa bukan perusahaan angkutan umum, seharusnya mereka dilarang untuk tidak menangkut orang atau barang walaupun berdalih dengan jasa kurir toh?Â
Jika kita mengambil mindset berpikir setiap angkutan yang mengangkut penumpang dengan membayar sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan disebutkan sebagai angkutan umum, seharusnya perusahaan berbasis transportasi dengan piranti lunak ini harus memiliki izin seperti yang ditetapkan pada pasal 173. Â
Nah, namun pada pasal 139 dijelaskan, "Pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota antarprovinsi serta lintas batas negara." Pada pasal 139 disini kita sebagai rakyat negara Indonesia harusnya berhak untuk mendapatkan jasa angkutan umum yang nyaman dari pemerintah. Ditunjang lagi dari pasal-pasal lainnya tentang kewajiban pemerintah dan hak pengguna jalan, kurang lebih diharuskan adanya integrasi antara sesama pengguna jalan untuk menciptakan situasi kondusif dan aman dalam penggunaan jalan.