Mohon tunggu...
Nobuhiro Komatsuda
Nobuhiro Komatsuda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kolese Kanisius

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Merdeka dari Ritual Penyembahan Profesor

17 Agustus 2024   09:00 Diperbarui: 17 Agustus 2024   09:01 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

79 tahun Indonesia merdeka, tetapi mahasiswa belum merdeka dari ritual penyembahan profesor. Sakralisasi gelar profesor merupakan ancaman bagi suasana kampus yang aman dan nyaman. Fenomena ini juga membuat masalah moral dan sosial yang baru di dunia pendidikan.

Keputusan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathu Wahid agar gelarnya tidak ditulis lengkap tampak sepele dan aneh. Namun, keputusan Wahid adalah langkah yang penting dalam proses desakralisasi gelar profesor yang kini “didewa-dewakan” oleh masyarakat luas. Keputusan Wahid adalah keputusan yang tepat, karena masyarakat Indonesia kini memandang seorang profesor sebagai sosok yang ada di puncak kasta masyarakat. Hasilnya, banyak oknum-oknum mengejar gelar profesor dengan cara yang tidak halal. Sakralisasi gelar profesor dan keberadaan oknum-oknum yang mengejar gelar profesor dengan cara yang tidak halal merupakan dua peristiwa umpan balik positif. Oleh sebab itu, penyelesaian satu peristiwa sangat bergantung pada penyelesaian peristiwa lainnya.   

Sakralisasi gelar profesor membentuk sebuah kasta sehingga mahasiswa dan profesor saling merasa jauh dari satu dengan yang lain. Profesor cenderung akan dipandang sebagai seorang “dewa” dan mahasiswa sebagai manusia biasa. "Mendewa-dewakan" sosok profesor terbukti menjadi bumerang bagi profesor sendiri, karena mahasiswa tidak memandang profesor sebagai sosok yang baik. Menurut platform Rate My Professors, aplikasi bagi mahasiswa untuk menilai profesor mereka dari skala 1 sampai 5, banyak mahasiswa tidak menilai profesor mereka dengan baik karena tidak merasa dihargai. Salah satu faktor yang dapat menjelaskan penilaian ini adalah sakralisasi gelar profesor.  

Sakralisasi gelar profesor juga mendorong oknum-oknum untuk memperoleh gelar tersebut dengan cara yang tidak halal. Laporan Investigasi “Skandal Guru Besar Abal-Abal” yang terbit pada 7 Juli 2024 mengungkapkan kasus pelanggaran akademik oleh sebelas dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) dalam bentuk rekayasa syarat permohonan guru besar. Rekayasa syarat permohonan guru besar dilakukan dengan mengirimkan artikel ilmiah ke jurnal predator yang kualitas karyanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kasus ini menjadi puncak gunung es dari oknum-oknum yang menggunakan cara yang tidak halal untuk memperoleh gelar profesor. 

Profesor dan mahasiswa kini layaknya seperti dewa dan manusia. Banyak oknum-oknum hendak menjadi dewa sehingga gelar profesor diperoleh dengan cara yang tidak halal. Di platform Instagram dan TikTok, tidak sedikit mahasiswa merasa gelisah saat hendak menghubungi profesor (atau dosennya) karena takut dianggap kurang ajar atau tidak sopan. Padahal, untuk menciptakan lingkungan kampus yang aman dan nyaman, seorang mahasiswa seharusnya merasa nyaman dengan profesor mereka sendiri. Perguruan tinggi di Indonesia harus mendorong suasana yang egaliter di kampus, seperti di luar negeri. Di negara-negara di Amerika Utara, tidak sedikit mahasiswa memanggil profesor hanya dengan nama depan mereka. Ini adalah salah satu contoh langkah untuk mencapai suasana yang egaliter di mahasiswa. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun