Mohon tunggu...
Siti Nurhasanah
Siti Nurhasanah Mohon Tunggu... -

Ibu Rumah Tangga yang profesional sekaligus penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Terima kasih Ibu, atas Cintamu

24 Desember 2013   00:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

No 450 Terima kasih Ibu, atas cintamu

Wahai yang mulia di mana surga pun hanya seharga telapak kakimu...

Duhai keramat di mana setiap ucapan untuk anakmu adalah tuah...

Ibu, Ibu, Ibu, begitu lelaki agung memuliakanmu dalam sabdanya...

Inilah aku, Bu, si anak bengalmu...

Aku mencoba menggurat surat untukmu. Sekedar mengurai kembali kenangan yang terpintal dalam ingatan. Kalau bahasaku terlalu tinggi, mintalah si Aisy cucumu untuk menerjemahkannya, dia anak yang pintar.

Ibu, tatkala engkau tertatih menyusuri huruf demi huruf dalam surat ini dengan katarakmu, sungguh aku ingin menjadi mata ketigamu. Aku tahu engkau menyimpan rindu yang sangat untukku. Durhaka! Aku yakin engkau tak akan menyematkan julukan ini kepadaku. Karena jarak yang hanya sepelemparan batu, cukup memberiku alasan untuk tidak rutin mengunjungimu. Sibuk! Itulah alasan yang selalu menjadi tameng. Banyak kegiatan, ngurus rumah, momong anak. Ah, alasan yang terlalu kubuat-buat. Buktinya, eksis di dumay (yang ini pasti ibu tak tahu) aku masih sangat sempat. Bahkan lebih banyak waktu kuhabiskan untuk menjadi tukang pijit keypad laptop dan hp. Terlalu ya Bu, kalau aku betah berjam-jam menjadi tukang pijit. Bandingkan tatkala aku buru-buru menyudahi telpon ketika nada rindumu masih sangat jelas menggema.

Ibu, mungkin engkau tak seideal para ibu dalam teori parenting. Engkau sering marah kala aku berulah. Engkau tak mampu menampung imajinasi dan kreatifitasku. Engkau juga tak peduli dengan prestasiku. Jujur, dulu aku sempat kecewa. Tapi kini aku mengerti, sangat mengerti. Kerasnya kehidupan, rendahnya tingkat pendidikan dan kesibukan berjualan di pasar, membuatmu begitu. Bukan bermaksud mengabaikan, tapi begitulah wujud cintamu. mencari nafkah sekeras mungkin, demi kehidupan kami, anak-anakmu. Kamu tahu sendiri siapa ayahmu, begitu selalu engkau berujar. Tak perlu kuurai kan Bu, karena ini menyangkut privacy keluarga.

Ibu, engkau tak ingin anak-anakmu bernasib sama sepertimu. Karena itu engkau selalu memotivasi anak-anakmu agar sekolah setinggi-tingginya. Berapa pun biayanya, ibu akan mengusahakannya, begitu tekatmu waktu itu. Maka kebanggaan terpancar jelas dalam sorot matamu tatkala menghadiri wisuda sarjanaku. Riak di matamu menampakkan kebahagiaan yang sangat. Paling tidak engkau memastikan salah satu anakmu menjemput takdir yang lebih baik darimu. Mungkin begitulah cara berpikirmu yang sederhana. Gelar sarjana jelas pasti lebih baik daripada tidak lulus sekolah dasar. Ah, pasti Ibu tak tahu kalau semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin bejibun teori budi pekerti yang harus dihafalkan, bukan diamalkan.

Ibu, dengan teladanmu, seolah engkau memaklumatkan bahwa kebaikan itu bukan untuk diteorikan tetapi diamalkan. Derma yang engkau tanam, seolah berbalas rejeki yang melimpah. Keberkahan melingkupi kehidupan keluarga kita sepanjang waktu, hingga detik ini. Walau engkau selalu berujar, bukan itu tujuan hidup kita di dunia! Hidup di dunia adalah sarana mencari bekal untuk kehidupan yang abadi, di akherat nanti. Ah, entah darimana engkau mendapat teori indah itu. Pastinya bukan dari sekolah tinggi, karena sd pun engkau tak lulus. Mungkin dari ceramah para ustadz yang seminggu sekali rutin engkau kunjungi bersama para sesepuh lainnya. Jangan mengernyit Bu, yang aku maksud tetangga kita yang sudah sepuh-sepuh (tua) juga, bukan sesepuh yang berarti tokoh...hehe (Aku bayangkan engkau menoyor kepalaku)

Ibu, tahukah engkau bagian paling mengharukan dari drama kehidupanmu yang sering kau ceritakan kepada kami, anak-anakmu? Kisah masa kecilmu, di mana demi sesuap nasi, engkau bersaudara terpaksa mengais rejeki di kuburan. Tapi Ibu tidak menjadi peminta-minta! Begitu pekikmu tatkala membuka cerita. Ibu bekerja di kuburan, menjadi tukang sapu, mencabuti rumput di gundukan makam, sambil menggendong adik bungsu Ibu yang busung lapar. Dan satu dua sen berpindah tangan dalam genggaman Ibu. Merekahlah senyum ibu menghias wajah kumut dan rambut yang awut-awutan. Saking seringnya ke kuburan, sampai-sampai para setan pun akrab dengan ibu. Ada gundul pringis, congculing, gendruwo, wewe gombel, tak ketinggalan setan yang lagi naik daun, yaitu pocongan. Ibuuu...sungguh terlalu kamu menceritakan ini pada anak-anak sekecil kami waktu itu. Akibatnya, sepanjang malam aku ngruntel dalam sarung. Bisa aku maklumi, karena ibu tak mengenal teori parenting. Bahwa tak baik menceritakan kisah-kisah horor yang tak masuk akal kepada anak-anak, karena akan membuat mereka tumbuh menjadi penakut. Selain itu, demi sesuap nasi pula, engkau harus rela dimaki karena mengais remahan bihun dari pabrik besar. Si pemilik pabrik marah besar dan menyebutmu pencuri. Pemilik pabrik marah karena sejatinya remahan bihun itu diperuntukkan buat makanan bebek!

Ibu, masih ingatkah engkau ketika aku bertanya, mengapa sujud ibu lebih lama dari biasanya? Saat itu begitu bertubi cobaan hidup dari Yang Maha Kuasa. Adik terkena shizofrenia. Orang-orang menyebutnya gila! Bahkan yang lebih sadis lagi, mereka dengan ngawur mencibir bahwa adik adalah pesugihanmu, ibu! Biadab, ingin rasanya kutampar sekencangnya mulut laknat itu! Tapi ibu berhasil meredakan amarahku. Dan aku dapati matamu menganak sungai dalam setiap sujud panjangmu. Aku tahu, semilyar do’a membumbung ke atas langit, menembus arsy suci. Ah, do’a ibu untuk anaknya, mungkinkah tertolak?

Ibu, aku ingin mengungkap rahasia hati yang sejak dulu kusimpan. Terus terang, sejak kecil aku menyimpan ketidakpuasan karena merasa kasih sayang ibu tak imbang. Ibu pilih kasih! Bagaimana mungkin ibu secara kasat mata terlihat lebih menyayangi kakak? Padahal jelas-jelas otakku lebih brilian. Memang sih, kakak lebih cantik, lebih nurut, lebih kalem, lebih bisa diandalkan. Nah loh, terus aku lebih apa dong? Berpuluh tahun aku berusaha menemukan jawabannya. Dan jawaban itu baru kutemukan setelah aku pun menjadi seorang ibu dengan empat anak. Secara naluri adalah wajar kalau seorang ibu lebih condong kepada anaknya yang secara fisik lebih baik, patuh dan bisa diandalkan. Meskipun begitu, bukan berarti seorang ibu lebih menyayangi satu anak dibanding lainnya. Ah, itu pula yang kurasakan Bu... Mungkin bedanya karena ibu tak paham teori parenting, sehingga prakteknya kurang luwes. Maafkan aku, ya Bu...

Ibu, kini di usia senjamu, engkau tak berhenti memikirkan anak-anakmu. Padahal kami sudah mapan dan berumah tangga. Tapi sepeser pun engkau tak mau meminta upeti bakti kami. Selama aku masih bisa mencari, aku tak akan meminta pada anak-anakku! Begitu tekadmu, Bu...

Maka sungguh terlalu kalau aku tak jua paham akan kesulitanmu. Masih terbayang jelas, betapa ibu girang sekali ketika anak ketiga ibu yang juga adikku yang menderita shizoprenia menemukan jodoh. Buncah bahagia terpancar jelas. Seolah engkau hendak meneriaki dunia, lihatlah, anakku yang selalu dicemooh berjodoh juga dengan perempuan normal! Engkau begitu bersemangat ngunduh mantu, tapi apa daya tak ada dana. Pilu hati ini tatkala engkau berucap, hutang dulu ya, Nduk... Ah Ibu, bukankah justru aku yang berhutang banyak kepadamu? Hutang yang tak mungkin dapat kulunasi. Bahkan dengan nyawa sekalipun.

Ibu, di sepanjang sisa umurku, juga umur ibu, semoga keberkahan selalu melingkupi. Sungguh Bu, aku tak mengharap warisan harta darimu. Bagiku, suri tauladan yang ibu wariskan jauh lebih berharga daripada harta benda. Terima kasih Ibu, atas cintamu...

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (sertakan link akun Fiksiana Commnuity sebagai berikut ini (kli link ini) dan Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community( link : https://www.facebook.com/groups/175201439229892/ )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun