Mohon tunggu...
Noak Sianturi
Noak Sianturi Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Serabutan

Manusia yg monoton dan pendiam

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Urgensi Reformasi Peradilan Militer Indonesia

14 Januari 2025   15:55 Diperbarui: 14 Januari 2025   15:55 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Peradilan Militer setelah reformasi tidak mengalami perubahan bahkan dapat dikatakan tidak tersentuh oleh DPR dan pemerintah sebagai legislator. UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer sudah berusia  lebih dari 26 tahun sejak diundangkan  dan tentu kita tahu UU ini lahir di zaman orde baru yang semangat dan kondisi kebatinan saat itu sangat berbeda dengan situasi saat ini. Bahkan, jika kita telisik lebih dalam, konsideran yang dijadikan dasar lahirnya UU ini pun  sudah mengalami banyak revisi sehingga dengan begitu lamanya aturan ini tidak mengalami perubahan tidak heran menimbulkan anggapan bahwa aturan  ini sangat eksklusif  dan tidak tersentuh.

Sejatinya, peradilan militer hanya berlaku untuk tindak pidana militer yang artinya tindak pidana yang hanya bisa dilakukan oleh militer. Di luar itu, seharusnya tunduk pada peradilan umum. Inilah yang menjadi pokok permasalahan saat ini tindak pidana umum pun apabila dilakukan seorang militer, maka tunduk pada peradilan militer berlandaskan UU Nomor 31 tahun 1997 yang tentu sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban masayarakat. Bahkan, sebagian kalangan beranggapan hal itu suatu pandangan yang keliru. Sebagai contoh, kasus yang belum lama ini terjadi adalah seorang perwira tinggi aktif yang menduduki jabatan sipil kepala Basarnas yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Dalam penangananya, menimbulkan perdebatan diantara APH, ahli hukum, dan juga masyarakat. Apakah KPK berwenang melakukan law enforcement  terhadap seorang  militer aktif yang melakukan tindak pidana korupsi?. Di sisi lain, dalam  UU Nomor 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 5 jelas disebutkan  bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Ketentuan ini tidak membedakan apakah pelaku militer ataupun sipil apabila menyangkut tindak pidana korupsi, maka harus tunduk pada ketentuan ini. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh pengadilan militer apabila menganggap tetap berwenang mengadili tindak pidana korupsi adalah apakah tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana umum atau tindak pidana militer? Apakah dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer diatur tindak pidana korupsi? hukum acara apa yang akan digunakan untuk memeriksa? hal tersebut diatas memperlihatkan inkonsistensi dalam implementasi UU dan saling tabrak antara norma yang satu dengan yang lainnya.

            Sebetulnya, dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dalam pasal 65 ayat 2 (dua) disebutkan Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang. Namun, sayangnya penerapan ketentuan ini tidak serta-merta bisa dilakukan karena pada pasal 74 menyatakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku pada saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan dan selama Undang-Undang Peradilan Militer yang baru belum dibentuk, tetap tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sehingga melalui UU Nomor 34 Tahun 2004 sudah di amanatkan agar melakukan perubahan terhadap perubahan aturan peradilan militer. Namun, legislator gagal melakukannya sebagaimana yang di amanatkan UU tersebut. Perubahan  aturan terkait peradilan militer sudah mendesak dan tidak dapat ditunda jika tidak, akan menimbulkan irisan dan konflik antara lembaga penegak hukum dikarenakan tidak ada sinkronisasi aturan yang berakibat adanya ego sektoral lembaga dan arogansi hukum militer serta sudah saatnya supermasi sipil di tegakkan di Indonesia. Kasus  korupsi lainnya yang terjadi di TNI  yang menyita perhatian adalah pengadaan helikopter AW-101 yang telah terbukti merugikan keuangan negara dan untuk palaku sipil yang terlibat telah dihukum dan terbukti melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara namun berbanding terbalik dengan terduga pelaku dari kalangan militer tidak tau dimana rimbahnya bahkan Puspom TNI sudah menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) dengan alasan kurang bukti. Sangat wajar jika publik mempertanyakan apa mungkin korupsi pengadaan alutsista TNI tersebut hanya dilakaukan oleh sipil tanpa melibatkan pejabat dari TNI? Penyidikan yang dilakukan terhadap kasus ini juga terkesan tertutup peristiwa ini memang aneh dan luar biasa karena presiden sebagai panglima tertinggi TNI sebetulnya sudah menginstruksikan pembatalan pembelian helikopter AW-101 namun nyatanya dilapangan tetap terjadi dan intruksi presiden diabaikan, itulah  yang menjadikan kenapa penulis sangat tidak setuju terhadap tindak pidana umum yang dilakukan oleh TNI  ditangani oleh TNI khususnya tindak pidana korupsi, sangat beralasan banyak kalangan meragukan kemampuan TNI dalam menangani kasus tindak pidana korupsi karena dari segi pangalaman TNI tidak punya banyak pengalaman menangani tindak pidana korupsi lagi pula ini tindak pidana khusus yang dengan kekhususannya sampai dibentuk lembaga khusus seperti KPK dan Pengadilan Tipikor.

            Persoalan lain yang perlu kita soroti adalah inkonsistensi pemerintah pusat yang akhir-akhir ini seringkali memberikan jabatan sipil kepada perwira TNI tetapi status militernya tidak dilepaskan hal ini jelas sekali bertolak belakang dengan sistem merit yang di gaungkan pemerintah sebagai upaya reformasi birokrasi. Apabila ini berlangsung terus-menerus maka akan merusak sistem  reward and punishment yang ada karena jabatan yang harusnya untuk jenjang karir ASN malah dijabat oleh oknum militer. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan kegagalan manajamen dan birokrasi  pemerintah sekaligus ada sesuatu yang harus di evaluasi di internal TNI mengapa sampai harus mengambil jabatan tertentu diluar militer. Penulis  bukan berarti menutup mata bahwa ada lembaga tertentu karena kekhususannya memerlukan kemampuan dan manajerial militer hal ini bisa diberikan kepada perwira tinggi militer yang sudah pensiun  atau  apabila harus dijabat militer aktif maka tidak ada pilihan lain status militernya harus dicabut sehingga tidak lagi seorang militer aktif.

            Beberapa waktu lalu publik Amerika Serikat juga dihebohkan oleh sebua kasus pelecehan seksual ditubuh Angkatan Darat yang menimpa seorang tentara wanita bernama Vanessa Guillen yang tewas dibunuh rekannya sendiri yang didahului  tindakan pelecehan seksual. Pada awalnya, kasus ini tidak ditangani serius oleh institusi militer dan sengaja ditutupi bahkan keterangan yang diberikan terhadap keluarga korban juga sangat minim serta akses terhadap proses penyidikan yang dilakukan militer juga sangat terbatas, sampai akhirnya keluarga melakukan pencarian sendiri terhadap jasad korban dan melakukan protes secara langsung didepan markas Tentara Angaktan Darat di Fort Hood Texas berkat kegigihan keluarga korban akhirnya kasus ini terekspos media secara besar-besaran dan mendapat simpati dari masyarakat luas dan akhirnya kasus ini pun ditangani secara serius apalagi setelah mendapat perhatian dari politisi dan bahkan presiden  Amerika Serikat. Setelah kasusnya terungkap muncul sebuah gerakan yang dinamakan Vanessa Guillen Act yang bertujuan untuk memerangi pelecehan seksual di militer, singkatnya setelah diperjuangkan bertahun-tahun akhirnya Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengeluarkan perintah eksekutif yang menjadikan pelecehan seksual sebagai kejahatan pidana dibawah undang-undang peradilan militer sebagai wujud memberi penghormatan kepada Vanessa Guillen. Menurut hemat penulis di institusi militer sifat eksklutivitas masih terpelihara sampai saat ini dan dengan gerakan masyarakat sipil yang kuat akan  mampu merobohkan benteng eklusifitas tersebut. Dalam konteks peradilan militer Indonesia juga masih ada sifat ekslutifitas dan merasa sebagai institusi yang lebih powerful dibanding yang lainnya  sebagai mana yang terjadi di Amerika Serikat.  

            Bertolak dari peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini perubahan terhadap UU Peradilan Militer sudah sangat mendesak dan tidak dapat ditunda lagi karena biar bagaimanpun negara kita adalah negara hukum sebagaimana di amanatkan dalam konstitusi, tidak boleh ada satu institusi manapun yang berdiri lebih tinggi dari hukum itu sendiri. Bukan tidak mungkin akan terjadi kembali kegaduhan antara APH dalam hal penegakan hukum yang bersinggungan dengan militer jika UU tentang Peradilan Militer tidak segera di revisi,  disisi lain harus ada rasa legowo dari institusi militer bahwa zaman sudah berubah dan sudah saatnya meninggalkan cara-cara lama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun