Belakangan ini mungkin sering terdengar berita mengenai transgender baik di Koran, majalah maupun social media. Tak dapat dipungkiri bahwa transgender atau istilah bagi  orang-orang yang merasa identitas gendernya tidak sesuai dengan jenis kelaminya saat lahir ini menimbulkan pro dan kontra di berbagai Negara, begitupun juga di Negara kita, Indonesia.Â
Ada kelompok yang mendukung transgender sebagai bentuk hak asasi, dimana setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih dan memutuskan kehidupan pribadinya da nada pula kelompok yang menentang transgender, dengan menganggap bahwa transgender menyalahi kodrat yang telah diberikan oleh Tuhan.
Nah, terlepas dari semua stigma diatas, tahukah kalian asal mula seseorang memutuskan untuk transgender dan sebagainya ?
Pertama-tama mari kita ingat kembali pembelajaran mengenai gender. Istilah gender mengarah pada perbedaan social antara laki-laki dan perempuan sepanjang siklus kehidupan dan berakar pada setiap budaya, namun akan mengalami perubahan atau perbedaan antar budaya.Â
Misalnya saja di Thailand, Negara ini mengakui hukum "jenis kelamin ketiga" Â diperjelas dengan 18 istilah gender, seperti pria adam, Tom, Bi, Gay, dan lain-lain. Sedangkan di Indonesia sendiri, kita hanya mengenal 2 gender, yakni jenis kelamin perempuan dan laki-laki.
Selanjutnya identitas gender, perlu diketahui bahwa identitas gender merupakan cara seseorang melihat apakah dirinya sebagai perempuan, laki-laki atau transgender. Identitas gender berisi keyakinan diri (baik secara fisik, social dan budaya) sebagai laki-laki atau perempuan, dimana hal ini akan terbentuk bersamaan dengan tahap perkembangan manusia.Â
Umumnya pengenalan identitas gender akan dimulai sejak masa kanak-kanak. Agar seorang anak dapat memiliki identitas gender yang sehat, maka ia perlu diajari atau ditanamkan nilai, norma, tuntutan, hokum ataupun batasan mengenai jenis kelaminya serta dilatih untuk dapat berperan sesuai dengan jenis kelaminya tersebut.
Kohlberg menjelaskan 3 fase perkembangan gender :
- Gender identity (Usia 2-3 tahun)
Pada fase pertama ini, individu akan melabelkan dirinya sebagai laki-laki atau perempuan yang kemudian akan menjadi dasar dari gender dan perilaku individu di masa yang akan dating.
- Gender stability (Usia 4-5 tahun)
Pada fase kedua, individu mampu mengerti sifat alami dari uatu jenis kelamin.
- Gender consistency (Usia 6-7 tahun)
Pada fase terakhir ini, individu mengerti bahwa jenis kelamin merupakan suatu hal yang tidak dapat diubah.
Dari pengeklasifikasian Kohlberg, kita menyadari bahwa masa kanak-kanak adalah masa terpenting untuk pembentukan identitas gender seseorang. Ketika orang tua tidak mengajarkan identitas gender yang benar pada anak, akan berdampak pada penyimpangan-penyimpangan ketika anak mulai tumbuh dewasa. Misalnya saja, seorang anak perempuan diberikan pakaian model anak laki-laki maka tidak aneh jika ketika ia dewasa ia menjadi perempuan yang tomboy.Â
Ini hanyalah sebagian kecil dari contoh kasus kurangnya perhatian orang tua dalam pengenalan identitas gender pada anak, sedangkan kasus parahnya seperti pedofilia, LGBT, dan sebagainya yang berkaitan tentang kelainan gender.Â