Berbicara daerah wisata, orang Indonesia biasanya akan langsung menyebut nama-nama berikut: Bali, Yogya, Bandung atau bahkan Lombok. Jarang atau bahkan hampir tidak ada dari kita yang terbersit untuk menyebut kata Cirebon. Padahal, Cirebon tak sebatas kota udang seperti namanya yang diambil dari kata "cai" (air) dan "rebon" (udang rebon). Nyatanya, Cirebon lebih dari itu. Cirebon adalah mutiara terpendam di pinggir laut yang menyimpan pesona wisata yang amat kaya.
Untuk mengenal potensi Cirebon lebih jauh, untuk itulah, Kompasiana bersama Koteka (Komunitas Traveler Kompasiana) dan Danamon mengadakan kegiatan trip Jelajah Cirebon pada Sabtu, 10 Juni 2017. Ada 10 kompasianer yang berpartisipasi dan saya salah satu yang beruntung.
Jarak Jakarta-Cirebon yang tidak dekat membuat kami, para peserta trip harus berkumpul di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah, Jakarta sejak pukul 05.00 WIB pada hari H agar agenda yang telah dijadwalkan berjalan lancar.
Setelah berkumpul dan dilakukan pembagian tim, yakni tim pegang dan tim kendali dengan masing-masing tim beranggotakan 5 kompasianer (saya tim kendali), perjalanan akhirnya dimulai pada pukul 05.30 WIB. Mobil Elf berkapasitas 19 orang menjadi moda transportasi trip kali ini.
Beberapa menit awal perjalanan saya masih terjaga. Saya bahkan sempat berbicara dengan Deny dan Pak Djulianto yang duduk di samping kiri saya. Namun belasan menit kemudian saya sudah angkat tangan. Rasa kantuk yang begitu kuat membuat saya tak bisa melanjutkan obrolan. Akhirnya, sepanjang perjalanan dari saat masuk tol hingga tiba di Cirebon saya berpetualang ke Pulau Kapuk. Saya berharap begitu saya membuka mata, saya sudah tiba di Cirebon. Eh, benar saja, ternyata dikabulkan. Saat bangun, mobil yang kami tumpangi telah berada di bumi udang. Alhamdulillah.
Kami sudah tiba di Cirebon, berikutnya apa?
Nilai-nilai di Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Inilah destinasi pertama yang kami kunjungi, yakni Masjid Agung Sang Cipta Rasa atau juga dikenal Masjid Agung Cirebon. Â "Sang" bermakna keagungan, "cipta" berarti dibangun adapun "rasa" yang berarti digunakan. Konon, masjid ini adalah masjid tertua di Cirebon yang telah ada sejak 1480 M pada masa Wali Songo lho!Â
Masjid? Seketika saya bingung. Dimana masjidnya? Bagaimana tidak, masjid Agung Sang Cipta Rasa (seterusnya disingkat ASCR) tidak seperti masjid-masjid mainstream yang memiliki kubah dan berarsitektur byzantium pada umumnya. Masjid ASCR memiliki sentuhan tradisional sehingga buat yang baru pertama kali ke sini, seperti saya mungkin akan mengira bahwa tempat ini bukanlah masjid, melainkan bangunan tradisional yang menggabungkan unsur arsitektur berbau Cirebon, Demak dan Majapahit.
Hadirnya unsur lokalitas pada masjid ASCR membuat saya takjub. "Unik banget!", batin saya. Saya berpikir, kapan ya masjid di Kebayoran Lama, tempat saya tinggal mengusung konsep arsitektur Betawi? Masjid ASCR menjadi bukti bahwa agama bukanlah sesuatu hal yang kaku. Masjid ASCR seajkan memberikan pesan bahwa agama  bisa berjalan berdampingan dan bahkan berkolaborasi dengan kearifan lokal. Mendadak saya berpikir, "Seandainya semua orang memaknai nilai-nilai yang terkandung di masjid ini. Ah, seandainya..."
Kecantikan masjid tidak hanya tampak pada luarnya saja dengan sentuhan warna cat yang lembut (pink) dan tulisan arab di atas gerbangnya, namun juga pada bagian dalamnya. Gagahnya tiang-tiang yang terpancang pada masjid ini  menambah keelokan dari masjid bersejarah ini. Uniknya, atap di bagian pelataran dibuat cukup rendah mirip dengan rumah Joglo. Adapun pintuk masuk ke bangunan utamanya teramat kecil. Kalau mau masuk, terutama bagi orang dewasa, kita harus membungkuk. Ternyata itu nilai-nilai yang terkandung di masjid ASCR, yakni agar kita berperilaku hormat. Teman saya, Deny sempat mengatakan hal demikian kepada saya.