Jika ada satu hal yang perlu kita ucapkan terima kasih di tahu ini, saya rasa kenaikan elpiji nonsubsidi 12 kg adalah jawabannya. Seperti kita ketahui, pada 10 September 2014 lalu PT Pertamina (persero) kembali harus menaikkan harga elpiji 12 kg nonsubsidi dari yang sebelumnya seharga Rp 6.069 per kilogram menjadi Rp 7.569 per kilogram atau naik lebih mahal Rp 1.500 per kilogram. Untuk harga konsumen, ditambah dengan biaya-biaya lainnya semisal transportasi, elpiji 12 kg akan dijual seharga Rp 120.000. Itu artinya, masyarakat pemakai gas 12 kg harus menyisihkan uang lebih lagi untuk memakainya.
Saya mengerti bahwa keputusan ini pasti menimbulkan polemik. Ada yang pro namun ada pula yang kontra. Saya rasa itu disebabkan karena mereka berpikir bahwa kenaikan gas elpiji nonsubsidi 12 kg pasti turut mempengaruhi pengeluaran mereka dan itu bisa berpengaruh pada naiknya harga sejumlah kebutuhan lain.
Saya memakluminya. Namun usahakan jangan khawatir atau tidak ikhlas dengan keputusan itu tanpa adanya informasi atau ilmu yang benar mengenai kenaikan elpiji nonsubsidi. Jangan pula merasa menjadi rakyat yang paling terbebani ketimbang rakyat di negeri lain. Bagaimana pun, kita harus mencari tahu apa penyebab PT Pertamina menaikkan harga elpiji nonsubsdi. Kita harus percaya bahwa tidak mungkin PT Pertamina membuat keputusan demikian jika tidak ada sebabnya. Seperti kata pepatah, ada asap pasti ada api. Saya yakin bahwa PT Pertamina tidak akan gegabah dalam membuat keputusan sehingga sebelum ‘ketuk palu’, PT Pertamina pasti sudah ‘berkonsultasi’ dan ‘meminta solusi’ terlebih dahulu berkali-kali kepada pemerintah dan pihak-pihak dan orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Kementerian ESDM misalnya. Meski mungkin masih terasa pahit bagi sebagian orang, bagaimana pun rasanya obat akan menjadi penyembuh di kemudian hari.
Untuk saat ini mungkin dampak positif dari kenaikan elpiji 12 kg nonsubsidi belum begitu terasa dalam kehidupan kita. Namun percayalah bahwa PT Pertamina ingin yang terbaik untuk bangsa ini. Dan kita mesti tahu bahwa hal yang terbaik, tidak berarti selalu enak atau terbaik. Hal terbaik adalah hal paling bijak di antara kemungkinan-kemungkinan yang tidak baik.
Oleh karena itu, ketimbang merasa jadi orang yang paling susah padahal di luar sana ada orang yang lebih susah ketimbang kita atau ketimbang merasa tersakiti tanpa alasan yang logis dengan kenaikan elpiji nonsubsidi 12 kg, lebih baik kita turut mendukung kebijakan PT Pertamina dan berterima kasih kepadanya. Setidaknya ada 3 poin kenapa kita seharusnya berterima kasih kepada Pertamina, khususnya pada kenaikan elpiji.
1. Melatih mentalitas
PT Pertamina membagi elpiji menjadi 2 jenis, yakni jenis elpiji yang disubsidi dan elpiji yang tidak disubsidi. Elpiji subsidi hanya terdapat pada elpiji 3 kg yang berwarna hijau sedangkan elpiji nonsubsidi terdapat pada beberapa jenis mulai dari elpiji 12 kg, 50 kg hingga elpiji rumah tangga lain (Bright gas, ease, dll). Nah, dari beberapa jenis elpiji tersebut, hanya elpiji nonsubsidi yang berukuran 12 kg saja yang harganya dinaikkan. Selain daripada itu tidak.
Sesuai jenisnya, kita pasti sudah tahu diperuntukkan kepada siapa elpiji subsidi dan elpiji nonsubsidi. Elpiji nonsubsidi 12 kg jelas tidak mungkin digunakan oleh kalangan ke bawah sebab harganya kurang menjangkau dan memberatkan mereka.Terlebih bagi pedagang kecil keliling seperti tukang bakso, tukang nasi goreng dan sebagainya, elpiji subsidi 3 kg jelas lebih praktis. Itulah kenapa elpiji 3 kg disubsidi sedangkan untuk menghindari kerugian yang lebih besar, elpiji jenis lain seperti elpiji 12 kg tidak disubsidi. Hal itu dikarenakan elpiji 12 kg memang diperuntukkan bagi kalangan menengah ke atas.
Sayangnya, sebagian kalangan menengah ke atas malah mengambil hak kalangan ke bawah. Alih-alih memakai elpiji nonsubsidi, yang terjadi malah sebaliknya, elpiji 3 kg juga turut ‘diembat’. Jika hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan bahwa elpiji 3 kg adalah elpiji yang disubsidi mungkin dapat dimaklumi. Sebaliknya, jika sudah tahu namun tetap dilakukan adalah hal yang patut disayangkan. Padahal sudah ada bagian masing-masing kepada siapa barang bersubsidi digunakan dan juga sebaliknya.
Nah, tidak sedikitnya kalangan menengah ke atas yang juga turut memakai barang bersubsidi membuat PT Pertamina mau tidak mau harus menaikkan Elpiji 12 kg. Sebab berdasarkan data PT Pertamina, dari konsumsi elpiji secara keseluruhan, konsumsi elpiji 12 Kg hanya sekitar 17% dan elpiji 50 Kg/Bulk hanya 3,5%. Itu artinya, mayoritas konsumen menggunakan elpiji 3 kg yang disubsidi. Keputusan untuk menaikan elpiji nonsubsidi 12 kg adalah hal terbaik setelah Pertamina menerima kerugian sebesar Rp 17 triliun sejak 2009-2013. Jika tidak dilakukan, bukan tidak mungkin dampak negatif yang lebih besar bisa kita rasakan di kemudian hari.
Oleh karena itu, tidak berlebihan rasanya jika kalangan menengah ke atas patut berterima kasih kepada PT Pertamina atas kenaikan elpiji 12kg. Sebab kenaikan ini mengingatkan kita seperti apa seharusnya mental yang dimiliki sebagai ‘orang menengah ke atas’. Apakah kaum menengah ke atas memang mempunyai mental orang menengah ke atas atau apa justru kaum menengah ke atas ‘mental’nya lebih rendah dari kaum ke bawah? Bukankah menggunakan barang yang memang diperuntukkan bagi orang ke bawah sama saja dengan menyatakan secara tak langsung bahwa mental kita kurang mampu sehingga harus menggunakan elpiji 3 kg?
Lagipula jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, sebenarnya PT Pertamina masih terlalu baik untuk kita. Untuk elpiji nonsubsidi saja, dalam kisaran rupiah, harga di Indonesia masih terjangkau dengan harga kisaran Rp 7700-14.200. Bandingkan dengan Jepang India (Rp 12.600), Korea (Rp 17.000), Jepang (Rp 20.000), Tiongkok (Rp 17.000-21.0000) dan Filipina (Rp 24.000). Itu berarti teman-teman kita di negara lain mentalnya siap!
Berdasarkan apa yang saya bahas, c’mon, kita seperti apa yang kita pikirkan! Jika kita kalangan menengah ke atas dan berpikir mampu untuk menggunakan elpiji 12 kg, kita pasti akan mampu. Tuhan akan mewujudkannya. Begitu pula sebaliknya. Lagipula yang dinaikkan hanya elpiji 12 kg. Jadi tidak terlalu berpengaruh apalagi secara signifikan terhadap kenaikan harga barang atau makanan.
Jika gadget mahal, nonton bioskop, ‘nongkrong’ di restoran mahal, belanja di mall bahkan hingga membeli barang-barang bermerk mahal saja bisa, mengapa kenaikan elpiji tidak kita dukung saja? Buktikan bahwa kalangan menengah ke atas memang bermental kaya!
2.Mengingatkan bahwa Roda selalu Berputar
10 tahun yang lalu kita boleh berbangga atas prestasi Indonesia karena berhasil memproduksi elpiji dalam jumlah yang banyak, bahkan melebihi jumlah pemakaian atau konsumsi dalam negeri. Jumlah yang banyak itu membuat Indonesia memiliki ‘cadangan’ yang banyak sehingga kita menjadi pengekspor elpiji hingga 2009. Sungguh suatu hal yang perlu kita apresiasi.
Namun bagaimana pun juga waktu terus bergulir. Roda terus berputar dan tidak mungkin keadaan Indonesia 10 tahun silam sama dengan sekarang atau bahkan 10 tahun kemudian. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi di samping adanya konversi minyak tanah menjadi gas elpiji menjadi beberapa penyebab perubahan. Ditambah lagi kebutuhan Indonesia akan elpiji melebihi daripada produksi itu sendiri. Dari data Kementerian ESDM seperti yang dilansir oleh BPPT saja terdapat fakta bahwa penggunaan elpiji di dalam negeri terus melonjak dari waktu ke waktu. Mulai dari 1,08 juta ton pada tahun 2004, 1,37 juta ton di 2007, lalu menjadi 4,35 juta ton pada tahun 2011 hingga diperkirakan kembali meningkat pada 2014 menjadi 5,78 juta ton. Akibatnya, kita harus menerima dengan ikhlas bahwa Indonesia yang sebelumnya berstatus sebagai pengekspor berganti status sebagai sang pengimpor.
Dasar itulah yang membuat PT Pertamina harus melakukan impor elpiji dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga PT Pertamina perlu melakukan penyesuaian harga termasuk pada elpiji nonsubsidi 12 kg. Keadaan alam dan kondisi keuangan dari masa ke masa yang tidak selalu sama dan bisa berubah mengingatkan kita bahwa roda memang selalu berputar. Untuk saat ini pengguna elpiji 12 kg mungkin harus berjuang lebih untuk membelinya, Namun bukan tidak mungkin suatu hari nanti Indonesia dapat kembali ke masa jayanya sebagai pengekspor elpiji dan semua masyarakat mampu membelinya. Bagi Tuhan, tidak ada yang tidak mungkin, kan? Bersyukur, senantiasa berpikir positif dan hemat energi adalah kuncinya.
3.Meningkatkan Kreativitas
Meski PT Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kg, bukan berarti Pertamina melakukannya dengan serta merta. Terlepas dari sejumlah kerugian yang sempat diterimanya, PT Pertamina masih melakukan kebaikan. Terbukti kenaikan harga pada elpiji 12 tidak dilakukan secara ‘tajam’ melainkan dilakukan secara bertahap dan Pertamina jarang menaikkan harga elpiji 12 kg. Terakhir kali kenaikan harga terjadi pada Agustus 2009 dengan harga pasarannya sebesar Rp 69.000 atau setara dengan Rp 5.750 per kilogramnya. Lalu setelah 5 tahun berlalu, Pertamina baru 2 kali menaikkannya pada tahun ini, yakni pada 1 Januari 2014 dengan harga konsumen sebesar Rp 117.708 dan pada 10 September 2014 dengan harga konsumen sebesar Rp 120.000.
Ke depannya pertamina akan menaikkan harga elpiji 12 kg per 6 bulan sekali mulai dari 1 Januari 2015 hingga puncaknya pada 1 Juli 2016 dengan harga konsumen sebesar Rp 175.900-185.000. Sekilas, jika dilihat dari satu sisi hal ini hanya menambah pengeluaran bulanan saja. Namun sejatinya kita patut berterima kasih. Hal ini berarti Pertamina memberikan kesempatan kepada kita untuk melatih dan meningkatkan kreativitas.
Kalau katanya Pak Anies Baswedan daripada mengutuk kegelapan lebih baik menyalakan lilin, lantas mengapa kita tidak seperti itu saja? Bisa jadi apa yang kita lakukan bisa bermanfaat dan menginspirasi baik untuk diri sendiri maupun orang sekitar.
Jadikan saja kenaikan elpiji ini sebagai momen mengembangkan soft skill: kreativitas diri. Dalam hal apa saja. Entah itu kreatif dalam meningkatkan pendapatan seperti membuat usaha, menjual sesuatu atau bahkan berkarya lebih giat, kreatif dalam mengatur keuangan agar kebutuhan bulanan tetap tercukupi sekalipun harga elpiji 12 kg naik, kreatif dalam mengatur penggunaan elpiji di rumah atau bahkan kreatif dalam mengembangkan alat atau teknologi yang dapat menghemat penggunaan elpiji. Atau siapa tahu kreatif pula dalam mengembangkan dan membuat bahan atau sumber alam lain yang dapat digunakan sebagai pengganti elpiji sehingga kebutuhan akan impor elpiji akan berkurang. Siapa tahu? Tidak ada dari kita yang bisa menebaknya sebab kadang kreativitas itu tak terbatas.
Pada akhirnya, memang, tidak ada keputusan yang tidak ada dampak atau resikonya, termasuk pada kenaikan elpiji. Dan mungkin memang inilah jalan terbaik dan satu-satunya yang bisa dilakukan bagi kita semua, yakni Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kg secara berkala. Seperti yang saya utarakan sebelumnya, keadaan Indonesia tidak sama dari waktu ke waktu, entah itu menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk. Maka atas keputusan terbaik yang diambil, tidak ada salahnya kalau kita mengambil ini dari sisi positifnya. Kiranya kita tetap mendukung kebijakan ini dan atas 3 poin yang telah saya sebutkan tidak ada salahnya jika kita mengucapkan terima kasih. Terima kasih kenaikan elpiji, terima kasih Pertamina!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H