Mohon tunggu...
Nyak OemarAyri
Nyak OemarAyri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Tidak berbakat di bidang menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Modal Sosial Menuju Aceh Baru

6 November 2021   10:58 Diperbarui: 6 November 2021   11:03 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by tirto.id/Gery

Masyarakat Aceh pada masa lampau telah membuat aturan tradisional yang tak tertulis namun berdampak terhadap keyakinan masyarakat. Ada berbagai pantangan adat, pergelaran upacara tradisional serta bermacam-macam tradisi lainnya yang bertujuan untuk membangun suatu kondisi lingkungan yang harmonis. Jika kita perhatikan secara seksama, ragam unsur kebudayaan yang diciptakan itu memiliki makna tersirat dan mengandung berbagai pesan yang memiliki arti tentang perlunya menjaga hubungan yang harmonis terhadap lingkungan sekitar. Di antara beberapa pesan tersebut ada yang sifatnya sakral magis, sehingga pesan tidak dapat disampaikan secara langsung, melainkan dengan petuah mengenai pantangan-pantangan yang sarat dengan makna-makna simbolik. Oleh karena itu, untuk memaknainya dibutuhkan pemahaman mendalam terhadap latar belakang sosial-budaya yang ada pada masyarakat Aceh. Di samping itu juga terdapat beberapa ketentuan yang diciptakan namun kemudian berubah karena dinilai tak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, misalnya adat istiadat atau kebudayaan yang dapat menimbulkan mudharat bagi kalangan masyarakat Aceh itu sendiri.

Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa karakteristik orang Aceh begitu cenderung terhadap agama Islam yang dianutnya, maka hal-hal yang berkenaan dengan adat istiadat akan  disandarkan kepada kaidah-kaidah hukum Islam. Hal ini sesuai dengan filosofi orang Aceh, yakni adat ngon hukom hanjeut cree lagee zat ngon sifeuet, artinya antara adat dan syari'at Islam tidak dapat dipisahkan, layaknya zat dengan sifatnya, atau diumpamakan seperti kuku dengan daging. Oleh karena itu, maka tata kehidupan dalam masyarakat Aceh diatur oleh norma-norma adat yang disandarkan atas kaidah-kaidah syari'at Islam (Sri Wahyuni dalam Kearifan Lingkungan pada Masyarakat Aceh et al, 2002). Di sisi lain, sejarah telah mencatat bahwa jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, tepatnya ketika masa kerajaan dahulu, syariat Islam telah mendarah daging dalam diri masyarakatnya, sehingga segala aktivitas dan tingkah polah masyarakat Aceh bersendikan pada hukum Islam dan pendapat ulama.

Provinsi Aceh adalah salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki status "otonomi khusus" yang ditetapkan melalui UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh. Bersamaan dengan Papua, Aceh dikategorikam sebagai kawasan yang paling bergejolak dan berpotensi terhadap disintegrasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasca kemerdekaan, Aceh menginginkan untuk menjadi sebuah daerah yang diberikan perlakuan khusus. Keinginan ini diperjuangkan dengan berbagai alasan penting. Dari beberapa alasan yang ada, maka alasan yang paling kuat adalah kesejarahan (Rikardo Simarmata, 2005 : 7). Di era reformasi, ketika pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie, Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan Provinsi Aceh diperkuat kembali dengan diadakannya UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Bahkan, Habibie menambah keistimewaan Aceh dengan memasukkan klausul "peran ulama terhadap penetapan kebijakan daerah." Klausul ini ditindaklanjuti dengan membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri atas para ulama.

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 memperjelas mengenai Pemerintah Aceh dalam penetapan peraturan daerah berlandaskan syariat Islam atau yang dikenal dengan sebutan Qanun. Adapun hal-hal yang diatur berdasarkan peraturan daerah Aceh adalah bidang al-syakhsiyah (masalah kekeluargaan), mu'amalah (tata cara hidup sesama manusia), dan jinayah (kriminalitas) yang mana hal-hal tersebut diatur berdasarkan syariat Islam.

Dari ulasan singkat di atas mengenai proses panjang Provinsi Aceh untuk memperoleh keistimewaan, maka sudah selayaknya masyarakat Aceh memanfaatkan keistimewaan ini dengan sebaik-baiknya. Keistimewaan yang diperoleh oleh Provinsi Aceh tidak semudah membalikkan telapak tangan, maka inilah saatnya keistimewaan ini diarahkan dan dimanfaatkan sebagai modal sosial menuju Aceh baru. Menurut pendapat Field (2005: 5) menyatakan bahwa definisi dari modal sosial terdiri dari jaringan sosial, timbal balik yang timbul, dan nilai untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial (social capital) seringkali diartikan secara berbeda. Beberapa riset menyatakan modal sosial merupakan community-level attribute, meskipun riset lain memperlakukan modal sosial sebagai pendekatan yang berorientasi pada individu.

Sementara itu, kata "Aceh baru" sendiri merupakan sebuah konotasi atau ungkapan tentang sebuah harapan akan keadaan Provinsi Aceh dimasa mendatang supaya lebih baik lagi dalam berbagai bidang seperti kesejahteraan masyarakatnya, kedamaian, dan ketentraman negeri. Pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Aceh menciptakan harapan dan membuka peluang bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta masyarakat Aceh pada umumnya untuk mengembangkan kreativitas, keleluasaan dan kebebasan untuk menemukan kembali jati diri dan mengembangkan wilayahnya. Kesempatan ini disambut baik oleh berbagai sektor masyarakat dan pemerintah. Respon positif ini diperlukan untuk mencegah timbulnya kemungkinan bahwa pengalaman dahulu pada massa orde baru akan kembali terulang pada sistem pemerintah yang sentralisasi (Al Yasa' Abubakar, 2006 : 1).

Kini peran pemerintah bersama masyarakat sangat berpengaruh dalam proses implementasi keistimewaan yang dimiliki Aceh. Jika keselarasan dalam hal tata kelola daerah Aceh berjalan sebagaimana mestinya, maka tak menutup kemungkinan jika puncak kegemilangan dan keberhasilan pemerintah Aceh yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda tahun 1607-1637 dapat kembali terulang baik dalam bidang politik, agama maupun ekonomi. Aceh merupakan wilayah yang mempunyai sejarah unik. Wilayah Aceh tercatat sebagai sebuah daerah di Nusantara yang telah mengalami berbagai catatan, dimulai dari menentang kaum penjajah baik Belanda, Inggris, Perancis maupun Portugis. Aceh juga merupakan daerah berdaulat mempunyai adat istiadat yang majemuk, hal ini dikarenakan daerah Aceh terdiri atas berbagai suku dan etnis serta mempunyai kesatuan yang sangat kuat. Sehingga menjadikan Aceh sebagai modal sosial dalam menyongsong Aceh baru merupakan tindakan kecil yang berefek besar terhadap lini kehidupan masyarakat. Namun yang menjadi pertanyaannya untuk saat ini, siapakah diantara kita yang mau memulainya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun