Anekdot merupakan media yang sangat kuat untuk menyampaikan kritik dengan cara yang lucu dan dapat dipahami oleh banyak orang. Kehebatan dari anekdot yang dilontarkan Gusdur adalah bahwa anekdotnya mengandung nilai moral yang mendalam. Dengan demikian, kritikan yang penuh dengan nilai moral dapat diterima oleh khalayak umum dengan baik.Â
Anekdot yang disampaikan oleh Gusdur penuh dengan kontroversi karena terdapat unsur politik di dalamnya. Namun demikian, saya setuju dengan penulis bahwa anekdot tersebut disampaikan secara sopan karena Gusdur selalu menghargai obyek kritiknya sebagai manusia dan memperhatikan konteks lingkungan ataupun suasana.Â
Konkritnya, Gusdur tidak pernah menyampaikan anekdot ketika sedang membahas isu yang harus ditanggapi secara serius. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Gusdur cukup sopan dan efektif menggunakan anekdot dalam berkomunikasi.
Gusdur juga telah menjadi contoh warga negara yang berani  "berbicara". Dalam konteks yang tepat, saya juga setuju dengan pernyataan penulis bahwa anekdot yang disampaikan Gusdur merupakan cara berkomunikasi yang produktif. Â
Sebagai masyarakat yang masih menyimpan memori represif orde baru, berani mengungkapkan pendapat merupakan salah satu hal penting agar masyarakat dapat melepaskan diri dari luka-luka orde baru dan berkontribusi lebih melalui pemikiran-pemikiran unik mereka.Â
Oleh karena itu, Gusdur menjadi pelopor dari revolusi yang mewarnai negeri ini dengan pemikiran-pemikirannya yang unik. Secara keseluruhan, anekdot yang disampaikan Gusdur luar biasa karena kritikannya penuh dengan nilai moral yang dapat diterima oleh khalayak umum. Â
Terdapat banyak pendapat tentang pengertian teks anekdot. Bagi saya, teks anekdot adalah teks kritikan yang bersifat menghibur dan membuat pembaca peka memahami informasi atau fakta baru. Teks anekdot pada intinya merupakan sindiran terhadap seseorang yang disampaikan secara lucu. Selain lucu, sindiran ini membuka wawasan pembaca tentang isu tertentu.
 Dalam teks anekdot "Kalahnya Times Square" yang saya buat, saya mengkritik penggunaan papan iklan untuk kampanye politisi dengan membandingkan Times Square dengan keadaan di Indonesia. Di Times Square, terdapat banyak billboard yang berdiri dengan megah sehingga dikagumi oleh banyak orang di seluruh dunia.Â
Dalam teks anekdot ini, kakek dari seorang anak bernama Abdul yang sangat mengagumi Times Square menyampaikan bahwa di Indonesia pun terdapat banyak billboard "keren" seperti di Times Square. Namun, menariknya, billboard yang dimaksud sang kakek adalah baliho kampanye milik politisi.Â
Tujuan teks anekdot "Kalahnya Times Square" adalah untuk menyadarkan pembaca tentang banyaknya baliho kampanye politik yang terpajang di Indonesia sehingga menjadi sumber keprihatinan banyak orang.Â
Banyak orang, termasuk saya, mempertanyakan etika akan pemasangan baliho kampanye politik, Â terutama terkait informasi yang menyesatkan, taktik kampanye yang manipulatif, potensi polarisasi yang timbul di tengah masyarakat, serta penggunaan dana kampanye untuk mencetak baliho tersebut. Dengan tujuan menyadarkan pembaca akan dampak negatif dari pemasangan baliho kampanye yang tidak bertanggung jawab, saya pun menulis teks anekdot tersebut.Â