Mohon tunggu...
Nurul Khawari
Nurul Khawari Mohon Tunggu... Koki - Juru ketik, tinggal di Kartasura, Solo

http://www.facebook.com/nkhawari

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mana Lebih Baik, Era Soeharto atau Era Reformasi ?

21 Mei 2012   04:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:01 4001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Barangkali diantara gosib gosib politik, pertanyaaan yang cukup sering kita dengar saat ini adalah “lebih baik mana antara pemerintahan era soeharto dan era reformasi?”

Pertanyaan ini makin menguat di bulan Mei. Saat ingatan kolektif bangsa kembali kepada peristiwa beberapa tahun yang lalu. Mahasiswa dan rakyat tumpah ruah menuntut perubahan, hingga lahirlah era reformasi yang ditandai dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden setelah berkuasa selama 33 tahun. Pertanyaan tersebut akan memperoleh jawaban yang berfariasi. Diantaranya lebih memilih hidup di era Soeharto. Menurut mereka di era Soeharto harga barang barang lebih murah, jalanan lebih bagus, korupsi memang ada, namun tidak sebanyak sekarang. Yang jelas berbagai kebutuhan bisa lebih mudah dipenuhi pada era Soeharto.

Bahkan menurut Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari fraksi Partai Golkar, Harry Azhar Azis (Bisnis Indonesia, 25 Januari 2011). Team ekonomi di era soeharto bekerja lebih baik dibanding team ekonomi di era reformasi dibawah presiden siapapun. Di akhir kekuasaan Soeharto misalnya, angka pengangguran berhasil ditekan hingga mencapai 4 %, kemiskinan ditekan mencapai 11 %, dan pertumbuhan ekonomi pernah menembus angka 9 %. Sementara saat ini angka pengangguran justru lebih tinggi dibandingkan dengan era Soeharto. Angka pengangguran membengkak menjadi 8 %, angka kemiskinan berada di kisaran 13 %, sementara pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,5 % yang itupun dicapai dengan kerja keras yang luar biasa.

Angka angka pertumbuhan diatas sebenarnya tidak mencerminkan pemerataan dan keadilan. Angka angka pertumbuhan yang diperoleh bisa saja sebagai gelembung (buble). Karena pembangunan hanya menguntungkan sebagian orang dan tidak memberi kemanfaatan untuk masyarakat bawah meskipun sekedar melalui rembesan (trickle down effeck).

Meskipun angka angka tersebut menjadi fakta yang diakui kebenarannya secara statitistik, namun angka angka tersebut tidak menunjukkan secara umum bahwa era soeharto lebih baik dibanding era reformasi. Perlu dipahami bahwa persoalan yang dialami saat ini adalah buah kesalahan kebijakan yang terjadi pada masa lalu.

Pengurasan kekayaan alam yang luar biasa melalui penguasaan kontrak jangka panjang dengan perusahaan asing untuk eskploitasi sumber daya alam, hutan dan laut terjadi sejak masa era Soeharto. Budaya korupsi terjadi sejak zaman era Soeharto. Bahkan sebuah sumber menyebutkan, era Soeharto dianggap sebagai rezim paling korup di Asia Tenggara dengan jumlah korupsi mencapai $AS 15 miliar sampai $AS 35 miliar. Demikian juga jerat hutang luar negeri. Kegemaran merangkul “negara donor” terjadi sejak era Soeharto. Bahkan dimasa orde baru, hutang diposisikan sebagai pendapatan negara. Negara penghutang disebut sebagai “negara donor”, tidak disebut debitor atau pemberi pinjaman dengan mensyaratkan konsesi tertentu.

Konflik horizontal dan budaya kekerasan bukan serta merta lahir setelah era reformasi. Namun persoalan ini buah dari kebijakan masa lampau. Dimana kebijakan penyeragaman program pembangunan dari pusat (Jakarta) yang mengabaikan kearifan lokal menjadikan sistim sosial mengalami ketidakseimbangan sehingga masyarakat mudah tersulut emosi. Demi keberhasilan program pemerintah, tidak jarang dilakukan dengan menggunakan moncong senjata sebagai alat pemaksa.

Sepanjang kekuasan, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan sebagai satu satunya yang harus dicapai oleh pemerintah. Untuk mencapai berbagai tujuan pemerintah, stabilitas keamanan dalam negeri menjadi syarat utama. pelanggaran HAM dan demokrasi sering nampak mengiringi program pembangunan. Sehingga dilakukan kontrol atas kekuatan partai politik dan potensi oposisi. Yang bersebarangan dengan kebijakan negara selalu memperoleh predikat subversive dan “di PKI kan”.

Dari pemaparan beberapa fakta diatas penulis ingin menyampaikan, bahwa era Soeharto tidak lebih baik dibanding era reformasi. Meskipun saat ini politisi busuk semakin terlihat kasat mata, korupsi semakin bisa kita saksikan hingga ke detak jantungnya, semua ini berkat prestasi yang dicapai era reformasi. Era reformasi memungkinkan semua elemen bangsa termasuk pers memiliki peran lebih maksimal untuk melakukan kontrol atas penyelengaraan negara. Demokrasi diyakini sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan, dan era reformasi telah memberikan hal tersebut dengan lebih baik dibanding era Soeharto.

Tiga belas tahun yang lalu era Soeharto memang harus ditumbangkan, keputusan tersebut langkah brilian dari sebuah generasi. Karena bila tidak, persoalan yang dialami bangsa ini dipastikan akan semakin kompleks dibanding saat ini. Kerapuhan era Soeharto sangat terlihat ketika terjadi krisis ekonomi global, krisis yang berlangsung di asia tersebut dengan mudah merontokkan sendi perekonomian kita. Negara negara lain di Asia telah bangkit dari krisis ekonomi, namun Indonesia masih terpuruk dan tidak juga menampakkan kesembuhan setelah terpukul krisis ekonomi.

Sama Sama Neoliberal

Sesungguhnya persoalan utamanya bukan lebih baik pada era soeharto atau pada era reformasi. Karena keduanya, baik era soeharto maupun era reformasi, menggunakan konsep dan paradigma pembangunan yang sama. Yakni sama sama mengabdi kepada kepentingan neoliberal. Sepanjang era reformasi, kebijakan pembangunan masih berkiblat pada kepentingan asing. Beberapa presiden di era reformasi bahkan sangat patuh terhadap washington consensus. Paradigma pembangunan ekonomi diserahkan secara bulat bulat kepada mekanisme pasar. Sehingga peran negara dibatasi, namun peran sektor privat diberi keleluasaan seluas mungkin. Sehingga berbagai proteksi negara pada beberapa sektor startegi yang melindungi hajat hidup orang banyak dipangkas, BUMN dijual, negara dijauhkan campurtangan terhadap mekanisme pasar.

Fakta fakta perjanjian perdagangan bebas yang telah mulai diberlakukan bukan membuat kesejahteraan rakyat makin meningkat. Namun justru menjadi sebaliknya, masyarakat dipaksa menjadi pembeli atas produk produk asing. Masyarakat kita menjadi pasar bagi industri asing dan dipaksa untuk semakin tidak mampu untuk melakukan aktivitas produksi.

Pemerintah era reformasi bahkan terlihat tidak memiliki perencanaan yang komprehensif sebagaimana dilakukan pemerintahan era Soeharto. Keunggulan pemerintahan era Soeharto adalah kepemilikan perencanaan yang sangat kuat dalam proses pembangunan. Orde baru menerapkan konsep pertumbuhan seperti yang dikonsepsikan oleh WW Rostow dalam teori tahap tahap pertumbuhan ekonomi. Meskipun sebelum tahap tinggal landas, karena secara internal cukup rapuh, sistem yang dibangun runtuh begitu diterpa gelombang krisis. Perencanaan yang kuat ini yang tidak dimiliki oleh pemerintahan di era reformasi.

Sehingga persoalannya bukan lebih memilih mana antara era Soeharto dan era reformasi. Namun bangsa ini membutuhkan sistem baru yang berorientasi pada proses penguatan masyarakat. Sistem yang mendorong terciptanya sistem ekonomi pasar sosial yang sebagaimana konsep walfare state bekerja meraih kesejahteraan bagi bangsanya. Sistem yang jalannya sudah dibangun lebih dulu oleh Sjahrir, Hatta dan para pendiri bangsa lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun