Pendidikan islam di Indonesia menghadapi sebuah problematika yang kompleks dan beragam. Sebagai Negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan penyelenggaraan pendidikan islam yang berkualitas bagi generasi muda.Â
Namun, ada sejumlah tantangan yang harus diatasi guna memenuhi harapan tersebut.
Pendidikan islam diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga hal. Pertama, pendidikan islam sebagai lembaga yang diakui keberadaannya secara eksplisit. Kedua, pendidikan islam sebagai mata pelajaran diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga, pendidikan islam sebagai nilai (value) yakni ketika ditemukannya nilai-nilai islami dalan sistem pendidikan.
Walaupun demikian, pendidikan islam tidak luput dari problematika yang muncul di era global ini. Terdapat dua faktor dalam problematika tersebut, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Salah satu masalah utama dalam sistem pendidikan islam di Indonesia adalah kesenjangan kualitas antara pendidikan islam (madrasah/pesantren) dengan pendidikan umum (sekolah negri). Meskipun pendidikan islam (madrasah) telah ada sejak lama, tetapi masih banyak sekolah sekolah yang belum memiliki sumber daya yang memadai, khususnya di daerah pedesaan baik dalam hal infastruktur,tenaga pendidik yang berkualitas, maupun kurikulum yang
relevan. Di sisi lain, pendidikan umum (sekolah negri) mayoritas sudah memiliki sumber daya yang memadai, kurikulum yang relevan, juga tenaga pendidik yang berkualitas. Menurut pendapat saya ada beberapa problematika kesenjangan kualitas antara
pendidikan islam (madrasah/pesantren) dengan pendidikan umum (sekolah negri), berikut beberapa contoh problematikanya:
Sikap skeptis masyarakat terhadap lembaga pendidikan islam
Sejalan dengan perkembangan zaman, madrasah dan pendidikan islam terus berkembang. Namun perkembangan nya cukup ekslusif karena ilmu pengetahuan agama (islam) lebih diutamakan. Hal ini mengakibatkan hanya berkembang dalam masyarakat islam, karena tidak seimbang antara siswa belajar pelajaran agama dengan pelajaran umum. Begitu pula dengan pembelajaran di pesantren yang sangat berbanding jauh antara pembelajaran agama dan pembelajaran umum, yang mengakibatkan masyarakat memiliki sikap skeptis terhadap lembaga pendidikan islam. Berbeda halnya dengan pendidikan umum, mayoritas masyarakat lebih berminat memasukan anaknya ke sekolah negri dengan alasan, sekolah telah memiliki kurikulum belajar yang memadai untuk pelajaran
umum, sekolah gratis, dan juga lebih memaksimalkan siswa untuk belajar mata pelajaran umum disbanding dengan agama. Di sekolah negri siswa akan belajar agama minimal 1 kali dalam seminggu, sangat berbanding terbalik dengan lembaga pendidikan islam yang mengajarkan siswa pelajaran agama dalam sehari bisa 2 sampai 3 kali.
Lemahnya visi misi kelembagaan
Persoalan penentuan visi dan misi kelembagaan menjadi persoalan urgent yang sering dilupakan oleh pengelola pendidikan. Visi lembaga pendidikan seharusnya sudah dirancang dari awal untuk menjadi payung dilaksanakan proses pembelajaran. Dengan visi dan misi itulah, suatu lembaga pendidikan dapat merencanakan dan menentukan hal-hal yang diperlukan dalam kegiatan pendidikan. Sekarang ini, visi dan misi menjadi masalah serius bagi lembaga pendidikan Islam. Jika ditinjau di lapangan, banyak lembaga khususnya madrasah di Tanah Air tidak memiliki visi atau arah yang jelas mengenai pengelolaan pendidikan yang baik sehingga madrasah belum mempunyai perencanaan dan penataan baik yang mengakibatkan pada tatanan implementasi cenderung berjalan apa adanya. Sedangkan di sekolah sekolah negri pasti sudah memiliki visi misi untuk dilaksanakannya proses pembelajaran dan sudah tersusun rapih agenda-agenda dan kegiatan-kegiatan siswa dalam pembelajaran satu tahun kedepan.
Kurikulum yang overloaded
Kurikulum menjadi persoalan yang sangat urgent di dalam dunia pendidikan. Beberapa madrasah dan lembaga pendidikan islam tidak memiliki keterkaitan antara pelajaran agama dengan pelajaran umum. Kurikulum di madrasah lebih menekankan pada ranah kognitif saja, sementara ranah efektif dan psikomotorik menjadi terabaikan. Seharusnya, kurikulum harus segera diperbaiki karena tanpa kurikulum yang tepat, maka lembaga pendidikan islam akan sulit mencapai tujuan pendidikan. Berbanding dengan madrasah, pendidikan umum sudah memiliki kurikulum yang tertata mengikuti perkembangan zaman yang ada, contohnya ada kurikulum 2006, kurikulum 2013, dan sekarang sedang menjalankan kurikulum merdeka di beberapa mayoritas sekolah sekolah umum.
Rendahnya daya saing lulusan lembaga pendidikan
Islam dilihat dari aspek lulusan, lulusan madrasah sangat berbeda dengan lulusan dari sekolah-sekolah umum dimana lulusan sekolah umum memiliki aspek yang lebih terbuka untuk melanjutkan ke perguruan tinggi umum, sedangkan bagi lulusan madrasah
memperoleh keterbukaan yang luas hanya pada perguruan tinggi Islam. Sebenarnya, madrasah memiliki keunggulan yang lebih dibanding dengan sekolah umum karena muatan pendidikan agama di madrasah lebih banyak dari pada sekolah umum. Ini berarti
pendidikan moral yang dikandung dalam pendidikan agama lebih banyak diberikan pada madrasah. Namun, pada kenyataannya, madrasah masih kurang mampu untuk bersaing dengan lulusan sekolah umum. Rendahnya investasi pendidikan telah memosisikan kegiatan pendidikan sebagai mesin penghasil manusia "berijazah", namun miskin kompetensi. Lulusan lembaga pendidikan menjadi produk massa, dan program pendidikan lebih diarahkan sebagai program populis ketimbang sebagai program sistematis untuk meningkatkan mutu SDM. Hal ini tidak terlepas dari tarik-menarik kepentingan pendekatan kualitas dan kuantitas dalam kebijakan pendidikan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H