[caption id="attachment_206732" align="aligncenter" width="377" caption="sumber foto: industrypace.com"][/caption] Tak dapat dipungkiri bahwa di negara berkembang, pencitraan dan pengerahan massa sangat berkaitan erat dengan dunia kekuasaan alias politik. Dimana massa mudah dikumpulkan maka itulah saatnya bagi si tokoh politikus untuk menarik simpati publik untuk kemudian akan menggiring mereka baik sadar ataupun tidak sadar kedalam bilik-bilik suara untuk memilihnya. Hal demikian yang kemudian melahirkan berbagai macam intrik-intrik politik yang apabila si politikus mampu membius massa-nya dengan sigap, maka mereka akan dengan sukarela mengikuti kehendak tuannya bahkan yang paling ekstrem membela tuannya tanpa mempedulikan benar atau salah.
Nah di negara tetangga Thailand sana, hal ini sudah dapat dilihat contohnya. Ceritanya sang suami terkena banned ga boleh berpolitik selama 5 tahun terhitung mulai 2007, jadi boleh aktif lagi kira-kira tahun 2013 (masalah knp di banned, maaf ane ga tau). Karena duitnya banyak, ga tau hasil dari apaan, si suami ini beli lah klub bola yang main di Liga Premier Thailand di akhir tahun 2009, walau sebenarnya udah punya klub bola juga tapi mainnya masih di divisi 3 karena bikin baru dari awal. Dalam kurun waktu 2 tahun dua klub itu sukses dan mampu menghasilkan suporter fanatik yang setia mengikuti pertandingan baik tandang maupun kandang. Bisa jadi kefanatikan itu mudah diperoleh karena pertama, stadion dibagusin, kemudian manajemen klub dibikin canggih baik dari sisi marketing, infrastruktur dll, serta pemain direkrut beberapa yang memang tenar di timnasnya, dan lain-lain yang ane ga tau karena hanya faktor-faktor itu yang bisa dibrowsing hehehe...
Kembali lagi ke politik, berhubung si suami lagi kena semprit, maka istrinya lah yang dimajukan untuk pencitraan, misalnya berdua laki bini ini setia nemenin klubnya pas lagi tanding, saat si laki nya cuman bisa duduk di bangku ofisial, si istri lah yang memainkan peran sentralnya mulai dari nabuh drum, sampai jadi pemandu sorak suporternya...weleh-weleh sampai segitunya yak. Eits tapi jangan salah, hasilnya memang jeger banget, berhubung sukses diraih dua klub miliknya dengan memuncaki liga, maka tahun 2011 kemarin, si istri nyalon walikota dan menang dengan selisih hampir 400 ribu suara (yah..beda tipis ama selisih suara Foke-Jokowi kali :D ).
[caption id="attachment_206735" align="alignnone" width="632" caption="sumber kompilasi foto: tube.7s-b.com, pascaldellazuana.com, shutterstock.com, thai-fussball.com"]
Eh, lho kok jadi keterusan ngomongin politik, kapan ngomongin bola nya....
Tenang masbro dan mba’sis kompasianer, sekarang dibuka identitasnya satu-satu ya..Si suami ini namanya Newin Chidchob sedangkan si istri diperankan oleh Karuna Chidchob. Secara de facto, Newin yang punya dua klub tadi, yaitu yang dia buat di awal 2009 namanya Buriram FC, dan yang di beli di akhir 2009 yang awalnya namanya PEA FC namun kemudian dipindah home base nya ke kota Buriram dan diganti namanya menjadi Buriram PEA. Ssstt, pas Newin beli PEA FC, karena status PEA FC ini lagi main di Liga Premier (level teratas liga Thailand), maka nama PEA ga boleh ilang minimal selama 2 tahun kompetisi jalan (kalo ga salah aturan kita disini juga gitu, tp kok pas Persijatim di takeover Sriwijaya, namanya ga Persijatim Sriwijaya yak.. #eh). Nah kalo mau tau cerita Buriram PEA kayak apa, dulu rekan kompasianer pernah membahasnya disini http://olahraga.kompasiana.com/bola/2012/01/02/buriram-pea-juara-thai-premier-league-2011/.
Singkat cerita, Buriram PEA juara Liga Premier tahun 2011, dan ditahun yang sama Buriram FC juara di Divisi I nya dan otomatis promosi ke Liga Premier. Nah berhubung dua klub ini pemiliknya sama, maka akan menyalahi aturan sepakbola dunia dan akhirat kalo dua-duanya main di satu level kompetisi yang sama atau bahasa jawa-nya conflict of interest, sehingga merger-lah mereka menjadi satu klub bernama Buriram United yang akan main dikompetisi 2012. Implikasi dari merger ini adalah bahwa 2 klub yg merger ini sama-sama punya hak untuk tampil di Liga Premier dan dua-duanya berada dibawah perusahaan yang sama-sama legal (jadi salah satunya bukan abal-abal #eh). Pas merger, yang dipakai ternyata perusahaan yang membawahi Buriram PEA yang lalu namanya ganti jadi Buriram United. Nah, Buriram FC kan ilang tuh, tapi sebenarnya punya hak untuk tampil di liga teratas sebab promosi dari divisi 1 tadinya, akhirnya lisensi Buriram FC maen di Liga Premier dijual ke Songkhla FC (waktu itu Songkhla FC main di divisi 1). Setelah minta ijin PSSI-nya Thailand, namanya boleh diganti jadi Wuachon United dimana pemainnya semuanya boyongan dari Songkhla FC. Songkhla FC yang pemainnya bedol desa tadi tetep main di divisi 1 dan otomatis stadion kandangnya sharing dengan Wuachon United. FYI, di Thailand, dalam satu level kompetisi tidak boleh sharing stadion tapi kalo beda level boleh namun ga boleh main di hari yang sama. Yang kasian adalah pemain di klub Buriram yang merger, kabarnya sekitar 20 pemain kena non job.
Dengan alur cerita diatas apa rekan-rekan paham?apa malah njlimet bin ruwet? Kalo iya, sama kayak saya dong... hehehe...
Tapi itu adalah kejadian di Thailand sana, sekarang apa hubungannya dengan Bandung Raya, Pelita Jaya dan Arema ISL? Mungkin dengan kisah yang terjadi di Buriram itu dapat membantu mencerna apa yang terjadi dengan peristiwa di tanah air. Tapi ane wanti-wanti ya, ane bukan mbandingin antara regulasi di Thailand ama Indonesia, hanya ngasih gambaran biar sedikit banyak meringankan beban rekan-rekan yang susah mendapat pencerahan terkait apa yang terjadi di Pelita Jaya, Arema, dan Bandung Raya (yah kalo niat ane ga tersampaikan, ane mohon maaf ya, namanya juga usaha).
Pertama, Pelita Jaya mengakuisisi Arema ISL, pemainnya diboyong semua ke Arema, mungkin namanya nanti tetap Arema karena lisensi Arema ISL yang dipakai oleh Pelita untuk main di ISL. Dilain pihak, lisensi Pelita Jaya untuk main di ISL di jual ke Bandung Raya sehingga nama klubnya kalaupun ganti, paling gak harus ada Pelita-nya misal Pelita Bandung Raya sebab tadi itu, lisensi Pelita yang dibeli untuk main di ISL. Sedangkan Bandung Raya-nya sendiri yang main di divisi 2 ISL tetap ada kecuali dibubarkan ama om Tri Gustoro. Dari sini kayaknya jelas kan ya? Yang belum jelas, proses jual beli lisensi dan akuisisi ini kok ya kayaknya ga transparan yah, jangan-jangan tiga klub ini pemiliknya sama-sama Bakrie. PT. Pelita Jaya Cronus menjual sahamnya (atau tepatnya menjual lisensi main di ISL) ke PT. Kreasi Performa Pasundan yang notabene PT. Kreasi ini dimiliki oleh PT. Retower Asia, yang mana PT. Retower adalah anak perusahaan dari PT. Recapital Advisors, terus PT. Recapital ini anak perusahaannya PT. Renaissance Capital, lanjut PT. Renaissance ini lah yang oleh Bloomberg ditengarai mendapatkan bantuan dari Bakrie pada saat mengakuisisi saham PT. Berau yang kemudian PT. Renaissance dan Bumi Plc. ini beraliansi dan selanjutnya berdua memiliki 75% saham perusahaan tambang batubara terbesar di Indonesia (hahhh...capek gak abis-abis). Kalo perihal PT. Pelita Jaya Cronus ini adalah bapak perusahaannya PT. Nirwana Pelita Jaya yang membawahi manajemen Pelita Jaya dan sekarang beralih menjadi manajemennya Arema ISL.
Artinya, antara dua perusahaan ini yaitu PT. Retower Asia dan PT. Pelita Jaya Cronus bisa jadi diindikasikan masih satu saudara, dan kalaupun benar adanya demikian, maka akan ada conflict of interest nantinya apabila Arema ISL dan Pelita Bandung Raya sama-sama berlaga di satu level kompetisi yang sama. Apalagi dengan keberadaan klub-klub lain yang disponsori oleh anak-anak perusahaan Bakrie (ga usah disebutin tau kan ya) sehingga bisa jadi publik akan skeptis kalau klub-klub yang masuk geng nya Bakrie ini saling berhadapan. Beda lo ya dengan Buriram United ama Wuachon United, dua-duanya putus tus ga ada hubungan batin antara pemiliknya. Atas kejadian ini ngomong-ngomong Jokdri sebagai pengatur lalu lintas ISL kok kayaknya ndiemin yah (#eh lagi).....tapi ga usah dibahas ah ntar malah tambah ga kelar tulisan ini. Kesimpulannya kalau nanti ISL sesuai mandat MoU dibawah PSSI (mungkin gak sih), maka PSSI harus tegas karena sebagai federasi mempunyai kewenangan untuk mengatur partisipasi klub peserta kompetisi terkait prosedur lisensi sebagaimana tercantum dalam statuta FIFA chapter VIII tentang Sporting Integrity article 19 ayat 2 yaitu “In addition to qualification on sporting merit, a club’s participation in a domestic league championship may be subject to other criteria within the scope of the licensing procedure, whereby the emphasis is on sporting, infrastructural, administrative, legal and financial considerations. Licensing decisions must be able to be examined by the Member’s body of appeal”.
Sekian dan terima kasih.
Referensi:
http://www.thai-fussball.com/en/News-Buriram-to-get-United-item-255.html
http://www.bangkokpost.com/learning/easier-stuff/278503/mixing-football-and-politics
http://issuu.com/haluan/docs/hln281012
http://moneytometal.org/index.php/PT_Renaissance_Capital
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H