Mohon tunggu...
Marianne Kuznetsova
Marianne Kuznetsova Mohon Tunggu... Pelajar -

All written here are about my personal opinion, no offense. There's no true or false in it, don't argue. If you don't like it, just leave it

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Menyontek?

5 Maret 2015   05:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:09 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menyontek merupakan sebuah upaya yang dilakukan siswa untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak jujur. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, menyontek berasal dari kata sontek yang berarti melanggar, menocoh, menggocoh yang artinya mengutip tulisan atau menjiplak. Menyontek juga dapat didefinisikan sebagai sebuah kebohongan, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan (Barzegar & Khezin, 2011).

Kebiasaan menyontek dapat muncul dari diri sendiri yang disebabkan karena kurangnya percaya diri dalam mengerjakan tugas. Selain itu menyontek juga disebabkan faktor “malas” yang sudah ada pada diri siswa. Malas belajar akan membentuk karakter siswa yang menginginkan sesuatu diperoleh dengan cara instan, sehingga menyontek menjadi pilihan. Menyontek juga bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi underpressure, yaitu apabila dorongan atau harapan untuk berprestasi jauh lebih besar daripada potensi yang dimiliki.

Selain karena faktor internal, kebiasaan menyontek juga didorong oleh beberapa faktor eksternal atau lingkungan. Salah satu alasan siswa untuk menyontek adalah kurangnya persiapan belajar mengajar dari pendidik, akibatnya metode yang digunakan terlalu monoton dan tidak variatif, sehingga siswa merasa jenuh. Selain itu, kurangnya ketegasan dari guru untuk menindaklanjuti siswa yang ketahuan menyontek, sehingga siswa menjadi terbiasa dengan budaya menyontek. Apalagi ditambah dengan kunci jawaban ujian yang beredar, yang tak lain dan tak bukan diberikan oleh pihak pengajar itu sendiri. Faktor lainnya, terkadang pengajar mengharapkan jawaban yang terlalu text book sehingga memaksa siswa untuk menghafal kata demi kata dari buku.

Hasrat untuk menyontek juga didorong oleh orang tua yang menuntut anaknya untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Jika tidak didukung dengan cara yang relevan, tuntutan orang tua tersebut bisa berdampak negatif pada anak. Salah satunya adalah orang tua yang mementingkan hasil daripada proses belajar pada anak. Hal ini tentunya memberikan tekanan pada anak sehingga menyontek dianggap sebagai solusi untuk mendapatkan nilai yang tinggi.

Keinginan menyontek juga timbul pada saat anak melihat temannya yang lain membuat kecurangan. Dilihat dari ilmu psikologi, anak-anak yang belum matang dalam berpikir cenderung meniru dari apa yang mereka lihat di lingkungan sekitar. Maka Jika ada teman mereka yang menyontek, siswa tersebut terdorong untuk menyontek karena berpikir bahwa “untuk apa jujur saat ujian sementara semua temannya mendapat nilai yang tinggi karena menyontek”. Hasrat untuk menyontek juga muncul karena adanya peluang yang diberikan oleh teman. Peluang ini dapat berupa pembagian isi jawaban dengan sukarela oleh beberapa siswa yang pintar. Mereka beranggapan bahwa dengan saling membantu saat ujian merupakan bukti solidaritas dalam pertemanan.

Ada empat bentuk perilaku menyontek, yaitu:

1.Individualistic-opportunistic, perilaku dimana siswa mengganti jawabannya ketika ujian sedang berlangsung dengan menggunakan catatan ketika guru keluar dari kelas.

2.Independent-planned, yaitu membawa jawaban yang telah dipersiapkan sebelum ujian berlangsung.

3.Social-active, yaitu perilaku menyontek dimana siswa mengkopi, melihat atau meminta jawaban dari orang lain.

4.Social-passive, adalah mengizinkan seseorang melihat atau mengkopi jawabannya.

Siswa yang sering menyontek akan mengakibatkan tingginya rasa ketergantungan terhadap orang lain, sehingga ia akan mudah menyerah jika mengalami kesulitan. Dampak selanjutnya adalah kurangnya rasa bangga terhadap nilai yang diraih, karena apa yang didapat tidak sebanding dengan usaha yang sepantasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun