Ada dua masalah mendasar ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia, salah satunya yaitu transaksi berjalan dan neraca perdagangan yang masih defisit, Â kata Presiden Jokowi saat membuka Rakornas Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) 2018 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Kamis (26/7/2018). Â Selanjutnya Presiden menekankan perlu peningkatan ekspor dan penurunan impor.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kebijakan impor pemerintah saat ini mendukung penurunan impor. Â Berikut saya beri contoh tentang kebijakan impor gula era pemerintahan Jokowi.
Perhitungan saya dari berbagai sumber data baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri neraca gula nasional tahun 2018 sebagai berikut: Stok awal tahun 2018 sebesar 1.2 juta ton (Data dalam negeri); Produksi Gula Domestik sebesar 2.1 juta ton (data dalam negeri); Impor sebesar 4.4 juta ton (data luar negeri); Total penyediaan sebesar 7.7 ton; Konsumsi langsung plus industri mamin sebesar 5.7 juta ton (data dalam negeri), sehingga stok akhir tahun sekitar 2 juta ton. Â Versi pemerintah impor sebesar 3.5 juta ton sehingga stok akhir tahun menjadi 1.1 juta ton (2 juta ton-0.9 juta ton), dan versi Sekjen APTRI Nur Khabsyin sebesar 2.4 juta ton.
Selanjutnya hitungan versi pemerintah, dari total konsumsi 5.7 juta ton digunakan untuk kebutuhan konsumsi langsung 2.8 juta ton dan kebutuhan industri mamin sebesar 2.9 juta ton. Â Dengan produksi dalam negeri 2.1 juta ton, maka kekurangan pasokan gula konsumsi sebesar 0.7 juta ton. Kekurangan 0.7 juta ton dipenuhi oleh impor 0.6 juta ton dan dari stok awal tahun 0.1 juta ton, sehingga stok akhir tahun 1.1 juta ton.Â
Masalahnya berdasarkan data impor dari luar negeri ada kelebihan impor sebesar 0.9 juta ton (4.4 juta ton-3.5 juta ton) dan versi perhitungan Sekjen APTRI Nur Khabsyin sebesar 0.8 juta ton yang dinamakan rembesan gula untuk industri mamin ke pasar gula konsumsi. Â
Gula impor untuk konsumsi tersebut memiliki HPP lebih rendah dibanding HPP gula produksi domestik (PG BUMN), sehingga gula domestik kalah bersaing dengan gula konsumsi impor menyebabkan stok gula BUMN menumpuk tidak bisa dilepas ke pasar. Kelebihan impor gula tersebut sebagai biang keladi menumpuknya stok gula BUMN. Â Sekarang penumpukan stok produksi gula BUMN sedang terjadi.Â
Stok gula BUMN tersebut sebagian dibeli oleh BULOG utuk memperkuat stok BULOG. Â BULOG juga tidak bisa melepas ke pasar karena kalah bersaing dengan gula impor konsumsi.Â
Mendag kekeh untuk tetap mempertahankan HET (Harga Eceran Tertinggi) gula Rp 12500 per kg yang terlalu rendah (perhitungan saya Rp 15.000 per kg) untuk mendorong gula impor produksi swasta laku di pasar dengan dalih menjaga inflasi. Â Padahal dampak kenaikan gula terhadap inflasi paling kecil diantara beberapa komoditas pemicu inflasi.Â
Yang paling besar adalah kenaikan BBM, disusul listrik dan gas, tepung, minyak goreng dan beras baru yang paling kecil adalah gula. Â Dampak inflasi terhadap kemiskinan justru terbalik. Â
Menekan inflasi dengan menekan harga pangan menyebabkan laju penurunan kemiskinan di pedesaan era JOKOWI jauh lebih kecil dibanding era SBY. Â Kenaikan harga gula juga tidak perlu dikuatirkan akan menurunkan konsumsi gula, justru penurunan konsumsi gula itulah yang dikehendaki oleh kesehatan karena konsumsi gula penduduk Indonesia berlebih sekitar 100% di atas norma kesehatan.
Oleh karena itu penentuan HET gula justru membunuh industri gula domestik dan menggantikan dengan gula impor, menggerus devisa meningkatkan defisit neraca perdagangan. Rente gula impor per kg berkisar Rp 1000 sd Rp2000 memang manis tapi pahit bagi petani tebu dan ekonomi nasional. Â Kebijakan impor gula era Jokowi yang berlebih inkonsisten dengan kebijakan memperbaiki defisit neraca perdagangan yang didengungkan oleh Jokowi sendiri.