Entah karena ada moment spesial apa, lagi-lagi jariku ini ingin menuliskan secarik surat yang dengan sengaja ingin ku persembahkan kepada pesantren yang dulu diriku besar di rahimnya, Pesantren Gedongan namanya.
Namun sebelumnya aku ingin memperkenalkan identitasku terlebih dahulu,namaku tak beda jauh dengan yang ada di akun facebook ku, namun kalau terlihat aneh dengan nama ku yang terakhir itu“Presto”mohon di maklumi saja, karena itu adalah nama penghargaan yang sengaja di berikan ketika aku mengikuti karnaval internasional di Rio de jaeneiro Brazil, (Gak percaya juga tak mengapa hehehe).
Namun di sini aku menemukan sebuah kebingungan, bagaimana aku mengibaratkan pesantren Gedongan dalam suratku ini, agar nanti aku tak menemukan kesulitan yang berarti jika aku ingin memanggil atau menyebut namanya yang indah itu, mungkin jika aku mengibaratkannya seperti seorang bapak itu sangat pantas sekali, karena begitupun juga, aku adalah seorang anak yang besar dan tumbuh dengan peluh yang keluar di setiap lekukan wajahnya.
***
Bapak, Pembicaraan mengenai dirimu adalah salah satu pembicaraan yang tidak akan pernah selesai sampai kapanpun, karena dirimu ibarat seperti benda yang menarik untuk di kupas dari berbagai macam sisinya, mulai dari model metode pengajarannya, sikapnya terhadap problem kemasyarakatannya, kemajuan zamannya dan lain sebagainya karena dalam dirimu telah terukir sejarah panjang yang unik, yang akan tetap di kenang sampai sekarang. Pun secara historisnya, umurmu itu lebih tua dari umur bangsa ini pak. Dirimu tumbuh subur dengan keunikan yang tidak di temukan di lembaga pendidikan lainnya, seperti adanya kiai yang menjadi sentral dari kelangsungan kegiatanmu , budaya kebersamaan yang timbul pada diri santri secara alami, dan masih banyak keunikan lainnya yang “berserakan” di setiap halaman rumahmu pak, khususnya mengenai ke tradisionalan yang selalu menjadi icon kehidupanmu itu.
Dan dengan keunikan itu, aku tahu bahwa dirimu ingin untuk selalu berbenah dan memodifikasi keberadaanu dengan segala hal yang akan menunjang setiap kemajuanmu itu, agar keberadaanmu nanti masih terus di jadikan pilihan paling depan bagi mereka yang mencari model pendidikan bagi anak-anaknya.
Sejalan dengan hal ini, Nurkholis Majid (dalam karyanya Bilik-bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta:Paramadina, 1997), telah membagi pesantren -terkait dengan respon jagat pesantren terhadap tantangan dan arus jaman- ke dalam empat jenis. Pesantren jenis pertama adalah pesantren modern yang penuh ghirah membenahi pesantren dengan sistem yang kompatibel dengan semangat modernitas. Pesantren kedua, pesantren yang melek kemajuan jaman sekaligus tetap mempertahankan nilai-nilai yang positif dari tradisi. Pesantren ketiga adalah pesantren yang juga memahami aspek positif modernitas namun tetap memilih menjadi jangkar bagi persemaian semangat tradisionalisme. Sedangkan pesantren jenis keempat adalah pesantren yang bersikap antagonis terhadap gegap gempita modernisasi.
Mungkin kebanyakan lembaga pendidikan yang sepertimu itu pak, lebih memilih model yang kedua, lembaga pendidikan yang melek terhadap kemajuan zaman dengan tetap mempertahankan tradisinya, namun inipun bukan hal yang mudah untuk di terapkan pak, karena kalau lembaga sepertimu tidak mampu untuk memberikan porsi yang sama untuk kemajuan kedua-duanya maka secara otomatis akan ada satu pihak yang nantinya akan di diskreditkan.
Dan ketika ada salah satu pihak yang di diskreditkan wibawa atau perannya, maka keberadaan lembaga itu seperti halnya lembaga yang tak memiliki ruh lagi pak, banyak dulu lembaga yang berusaha untuk Concern terhadap ketradisionalan lembaga sepertimu dan tidak berusaha untuk menutup mata terhadap gegap gempitanya zaman, namun seiring dengan adanya ketidak adilan terhadap pebagian porsinya, maka dengan terpaksa ada satu pihak yang di kesampingkan, dan inilah yang terjadi pada dirimu pak, sudah kah kau merasakan itu??.
Dulu aku masih ingat sekali ketika putramu masih bersama-sama untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan yang kau ajarkan itu pak, dan dulu pun aku masih ingat sekali ketika engkau menyuruh kami bernyanyi bersama memadukan suara kami yang sekali-kali bising untuk di dengarkan itu, namun kau tetap tak memperdulikannya karena dulu yang kau pentingkan hanyalah kerukunan di antara anak-anakmu semua bukan karena yang lainnya.
Lalu kenapa sekarang seakan rumah mu itu terasa sangat angker sekali pak, pertikaian yang secara terus-terusan menjangkiti sanak saudaramu, keegoisan yang sakali-kali mewarnai kehidupan meja makannmu dan entah bercik apalagi yang akan merusak model pendidikanmu itu, mungkin ini karena sanak saudaramu yang semakin lanjut usia yang setiap saat menuntut hak asuh mereka atas semua anak didikmu itu pak, mungkin pula mereka menuntut kebun jagungmu yang sebetulnya sudah kau bagi rata itu pak? Atau mungkin ada kepentingan yang lain??.