Jika membicarakan mengenai anak-anak, mungkin yang terlintas di benak kita hanyalah bermain dan bersenang-senang saja. Namun tak jarang segelintir anak yang terlepas dari pengawasan orang tua mereka dan melakukan aksi keji yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Terlebih lagi akhir akhir ini telah terjadi kasus pemerkosaan dimana-mana yang dialami oleh anak di bawah umur akan tetapi sayangnya mereka tak hanya menjadi korban namun menjadi pelaku pemerkosaan itu sendiri.
Suatu kasus kejahatan hingga mengarah ke pemerkosaan tak pernah bisa dimaafkan terlebih lagi yang melakukan nya adalah anak dibawah umur, anak sekecil itu otaknya sudah kotor dan apakah masih perlu dikasihani?
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mengatakan bahwa hukuman anak di bawah umur yang melakukan pembunuhan adalah setengah dari hukuman orang dewasa, sebagai contoh jika orang dewasa mendapat tuduhan pembunuhan dengan ancaman pidana empat belas tahun penjara, maka anak di bawah umur akan mendat ancaman pidana setengahnya yaitu tujuh taun. Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana berupa pidana dan tindakan.Â
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana peringatan, sedangkan pidana dengan syarat dapat berupa pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, hingga penjara. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa anak mulai berusia 14 tahun bisa terjerat pidana penjara berdasarkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) (antaranews.co 2/12/2024).
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM merekap dari tahun 2020 hingga tahun 2022 adanya kasus Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) sebagai pelaku. Dalam laporan tersebut 48 anak diantaranya melakukan aksi pembunuhan. Kejahatan seperti pencabulan atau pelecehan hingga pemerkosaan juga marak terjadi, mencapai 199 kasus (goodstats.id 27/9/2024).
Kasus baru-baru ini nasib mengenaskan yang dialami oleh siswi SMP di Palembang AA (13) menjadi korban pemerkosaan sekaligus pembunuhan yang dilakukan oleh empat orang anak di bawah umur yaitu IS berusia 16 tahun sebagai otak atau pelaku utama dibalik pembunuhan tersebut, diikuti oleh ketiga temannya, MZ 13 tahun, MS 12 tahun, dan AS 12 tahun. Motif dari pelaku utama IS itu sendiri diduga akibat sakit hati lantaran cintanya ini ditolak oleh korban. Selain itu IS juga diketahui sebelum melakukan aksi kejinya ia sempat merencanakan tindakannya ini bersama ketiga temannya, yakni MZ (13), MS (12), dan AS (12), untuk menyekap dan memperkosa korban hingga tewas.Â
IS beserta ketiga temannya sempat menonton film dewasa di ponsel salah satu pelaku (nasional.kompas.co 9/9/2024), sehingga mungkin karena faktor dorongan itulah mereka ingin menyalurkan nafsu bejatnya kepada korban dengan dalih mengajak menonton kuda kepang di daerah Jalan Pipa Reja, Kecamatan Kemuning, pada Minggu siang (1/9/2024).Â
Pelaku utama yakni IS telah divonis 10 tahun hukuman penjara di Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Kamis 10 Oktober 2024 (bbc.co pada 11/10/2024). Hukuman ini jauh lebih ringan dari tuntutan hukuman mati yang diajukan oleh jaksa kepada pelaku. Selain mendapatkan hukuman penjara IS juga diminta untuk mengikuti pelatihan kerja yang berada di Dinas Sosial Kota Palembang selama satu tahun lamanya. Sedangkan ketiga pelaku yakni, MZ 13 tahun, MS 12 tahun, AS 12 tahun divonis terbukti bersalah (tempo.co 10/10/2024).Â
Namun sesuai Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan anak baru bisa menjalani proses hukum ketika ia sudah menginjak usia 14 tahun, dengan demikian ketiga pelaku ini tidak mendapatkan hukuman yang sama dengan IS. Mereka dikembalikan kepada orang tua masing-masing akan tetapi sebelum itu mereka harus menjalani pendidikan selama satu tahun di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Tentu ini sangat tidak adil bagi pihak keluarga korban mengingat anak gadisnya telah meninggal secara kotor akibat perbuatan para binatang ini dan pelaku hanya mendapat hukuman yang jika dibandingkan dengan perbuatan yang telah mereka lakukan sebelumnya, jelas ini adalah hukuman yang ringan.
Tindakan semacam ini tidak akan pernah bisa dimaafkan, majelis hakim dengan Undang-Undang yang berlaku juga tak dapat disalahkan. Sebab mereka hanya mengikuti prosedur hukum yang sudah ditetapkan, memang dalam hal ini sudah dapat dikatakan bahwa hakim telah benar dalam menetapkan hukum sesuai dengan Undang-Undang. Akan tetapi apakah adil putusan tersebut bagi pihak korban? tentu jika dilihat secara keseluruhan kronologi dan motifnya sama sekali pihak keluarga tidak merasa diadili justru semakin terlarut dalam kesedihan.Â
Disisi lain keluarga pelaku justru tidak merasa bersalah sedikitpun terkait perbuatan anak mereka, pihak keluarga mengaku bahwa anaknya adalah anak yang baik rajin beribadah dan tidak pernah berkelahi (m.tribunnews.co 27/9/2024). S, selaku orang tua dari pelaku utama pemerkosaan hingga pembunuhan ini yakni IS, mengatakan yakin anaknya tidak bersalah dan tidak terlibat dalam kasus ini sehingga enggan untuk meminta maaf sebelum anaknya terbukti bersalah, Ungkapnya dalam konferensi pers di Jalan Seresan Sani pada Rabu, 25 September 2024 (tempo.co 26/9/2024).