Mendengar frasa “Palestina-Israel” saja telah berhasil mendeskripsikan sendiri bahwa isu yang terjadi antara keduanya merupakan isu yang kompleks dan multilayer. Bagaimana tidak, setiap isu tersebut muncul, baik di media berita maupun media sosial secara umum, diskursusnya bahkan sampai membahas sejarah pada tahun-tahun masehi sebelumnya. Belum ditambah bumbu sentimen dari politik, agama, dan rasial yang semakin membuat isu Palestina-Israel ini panas—dan tidak sedikit membuat beberapa orang enggan membahas isu ini karena seperti merasa tidak ada ujungnya dan berujung keributan belaka—atau dengan kata lain dapat dideskripsikan seperti “there is an elephant in the room”, yakni terlihat jelas terdapat masalah besar di depan mata yang seharusnya tidak bisa dibiarkan saja, tetapi kita lebih memilih untuk mengacuhkannya.
Setelah Israel mendapat kemerdekaan pada tahun 1948 yang kemudian disusul oleh peristiwa Nakba 1948, di mana sekitar 750.000 penduduk Palestina diusir dari tanahnya karena tanahnya telah menjadi wilayah negara Israel, terdapat sekitar 150.000 yang masih berada di wilayah Israel pada masa itu. Sejumlah orang Palestina yang menetap tersebut akhirnya memiliki keturunan hingga sekarang dan mereka memiliki kewarganegaraan Israel.
Elephant in the Room juga terdapat pada isu orang Palestina yang berada di Israel dan mempunyai kewarganegaraan Israel. Seringkali orang Palestina yang menjadi warga negara Israel dihadapkan pada posisi yang sulit. Di satu sisi orang-orang Palestina berulang kali menjadi korban kekerasan dari Israel, tanah mereka diambil, tetapi di satu sisi mereka tidak bisa berbuat banyak karena statusnya sebagai orang Palestina di Israel. Secara hierarki, orang Palestina yang berwarga negara Israel berada di bawah orang Yahudi Israel di tatanan sosial. Kemudian, orang Palestina yang berada di Gaza dan Tepi Barat atau West Bank, berada di status hirarki paling rendah di antara keduanya.
Israel sebagai negara demokrasi ternyata demokrasi yang dianut bersifat eksklusif bagi warganya yang beragama Yahudi. Hal tersebut masuk akal mengingat pendirian negara Israel pada awalnya memang dimaksudkan untuk menjadi rumah bagi orang Yahudi yang menjadi korban Holocaust semasa Perang Dunia II. Orang Palestina berwarga negara Israel tetap mengalami diskriminasi di lingkungan edukasi dan lapangan kerja. Sistem pendidikan di Israel masih terdapat segregasi antara orang Yahudi dan Palestina—ataupun Arab secara umum.
Sehingga menghasilkan kesenjangan antara kelompok Yahudi dan non-Yahudi, di mana kelompok Yahudi dari segala jenjang usia lebih unggul level pendidikannya daripada kelompok non-Yahudi. Secara umum, sistem edukasi Israel terbagi menjadi dua, yakni sistem Yahudi dan Arab, dan keduanya terbagi lagi, mulai dari sistem agama yang religius dan sekuler, hingga bermacam-macam kelompok agama, seperti Kristen, Muslim, Druze, Badui, dan campuran juga ikut mewarnai sistem edukasi di Israel. Dengan fakta bahwa level fundamental, seperti pendidikan saja sudah tersegregasi dari awal, hal tersebut berdampak pada lingkungan kerja, di mana terdapat kesenjangan sosioekonomi antara Yahudi dan non-Yahudi.
Bahkan pada tingkatan yang lebih serius, pemahaman kurikulum pendidikan negara dibedakan antara Yahudi dan non-Yahudi. Ambil contoh hari kemerdekaan Israel pada 14 Mei. Dari sudut pandang Yahudi, hari tersebut merupakan hari kemenangan bagi mereka karena negara Israel sebagai “rumah untuk Yahudi” telah berdiri. Tetapi, berkebalikan bagi orang Palestina bahwa 14 Mei dianggap sebagai peristiwa tragedi Nakba yang menyebabkan diusirnya ratusan ribu warga Palestina dari rumah maupun tanah airnya. Bahkan pada tahun 2011, Israel mengesahkan undang-undang yang menyatakan bahwa jika terdapat institusi yang menerima dana publik dapat dikenakan sanksi finansial jika mereka secara terbuka meratapi Nakba pada Hari Kemerdekaan Israel.
Orang berdarah Palestina yang memiliki kewarganegaraan Israel tentu memiliki privilese dibandingkan saudara-saudaranya yang tinggal di Gaza maupun Tepi Barat. Orang Palestina dengan warga negara Israel dapat mengunjungi seluruh wilayah Israel dan dapat keluar masuk ke Tepi Barat—meskipun tetap mengalami pengecekan di pos keamanan, tetapi prosedurnya tidak seketat seperti yang dialami oleh orang Palestina Tepi Barat maupun Gaza. Segala privilese yang dimiliki membuat orang Palestina berwarga negara Israel memiliki kompleksitas tersendiri dalam memahami kondisi, situasi, bahkan identitasnya sendiri. Mereka mengetahui apa yang terjadi dan apa yang dilakukan oleh pemerintahnya, tetapi tidak bisa berbuat banyak karena posisinya yang cukup marginal.
Terlebih semenjak peristiwa 7 Oktober atas terduganya serangan dari pihak Hamas terhadap Israel—yang mana merupakan serangan balik paling masif dari pihak Hamas membuat posisi orang Palestina berwarga negara Israel menjadi sulit. Mereka harus selalu menekankan bahwa mereka bukan bagian dari “kelompok tersebut” dan harus menunjukkan rasa empatinya terhadap teman-temannya ataupun keluarga dari pihak Israel yang menjadi korban. Ditambah masyarakat Israel semakin memiliki tendensi negatif terhadap orang Palestina ataupun ras Arab karena dianggap sebagai ancaman semenjak peristiwa 7 Oktober.
Sebagai penutup, terdapat jawaban wawancara yang menarik dari seorang Rula Hardal sebagai seorang Palestina yang memiliki kewarganegaraan Israel sebagai researcher di Shalom Hartman Institute di Israel. Hardal mengatakan bahwa kedua kelompok tersebut sudah lelah karena kematian dan kekerasan yang berulang-ulang. Kedua kelompok ini sudah lelah dengan penderitaan, dan khususnya rakyat Palestina. Merekalah yang paling menderita dalam situasi ini, dan merekalah yang paling tertarik pada solusi apa pun dibandingkan Israel.