Oleh: Christine Wulandari, Rudi Martubong, Fajar S Pratomo, A. Nizam Syahiib, Yuli Agustin, Kaifa Uma, Vina Puspita Dewi, Lutfi Nur Latifah, Zeda Erdian, Vinanda Arum Tri Kurniawan, dan Nur Ahmad Fadli.
Lahan Gambut merupakan salah satu bentuk lahan basah yang memiliki tingkat keasaman yang tinggi. Â Sekitar 20 hektar lahan basah dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian. Â Hal tersebut merupakan bagian dari pemaparan materi yang disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., IPU., mengatakan bahwa dengan pengendalian ekosistem dan kondisi tanah dan lahan yang optimal, berbagai manfaat dapat diperoleh seperti perlindungan ekosistem, pengamanan pangan, dan peningkatan perekonomian. Â Prof. Irwan Sukri Banuwa adalah Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila) yang juga Ketua Forum DAS Provinsi Lampung.
Materi diatas adalah bagian dari acara Webinar yang merupakan seri ke-2 webinar Forum Kolaborasi Rimbawan Indonesia (FKRI) yang dilaksanakan pada Hari Rabu, 15 Februari 2023. Pelaksanaan webinar ini bekerjasama dengan "Warung Ilmiah Lapangan"-nya Universitas Indonesia (UI) dan mengangkat tema "Belajar dari "Warung Ilmiah Lapangan": Mempertangguh Lahan Gambut dalam Perubahan Iklim" yang dipandu oleh moderator yang merupakan seorang rimbawan senior yaitu Ir. Petrus Gunarso, M.Sc. Ph.D., IPU.Â
Pada awal webinar ada sambutan oleh Ketua FKRI yaitu Prof. Dr. Ir. Christine Wulandari, M.P., IPU yang merupakan seorang Guru Besar Manajemen Hutan dari Universitas Lampung yang menggarisbawahi bahwa keahlian rimbawan dalam mengelola hutan gambut secara lestari adalah penting dan merupakan keahlian yang memerlukan ada bukti formal, salah satunya dengan memperoleh gelar sebagai insinyur professional dengan predikat IPP, IPM atau IPU.
Berdasarkan hal tersebut maka FKRI bekerjasama dengan Prof. Yunita T. Winarto sebagai Koordinator Warung Ilmiah Lapangan -- Universitas Indonesia (UI) menyelenggarakan webinar tentang pengelolaan gambut berkelanjutan dengan mendatangkan narsum dari Afrika Selatan yaitu Dr. Athlea T. Grundling, dan praktisi rimbawan yang banyak pengalamannya dalam pengelolaan gambut di Indonesia yaitu bapak Fajar Surya Pratomo.
Lebih lanjut Prof Irwan menyatakan bahwa dua fungsi utama lahan gambut yaitu sebagai penyimpan air dan penyimpan karbon, hal ini karena secara produksi lahan gambut lebih besar dibandingkan dengan pembusukan material organic dan potensi keseimbangan C-positif lebih baik untuk pengikat dan pengikat senyawa CO2. Â Lahan gambut merupakan salah satu target pemerintah untuk mengurangi faktor penyebab perubahan iklim dan sebagai upaya mitigasi iklim dalam Indonesia Folu Net Sink 2030. Â Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan pada tahun 2014, lahan gambut dapat berpotensi mengikat kandungan emisi sebesar 0,60 Gt CO2e pada rentang 15 tahun (2005-2020).Â
Bahan gambut cepat berubah sifat bila terjadi perubahan dari kondisi anaerob menjadi aerob. Â Dengan kandungan asam yang cukup tinggi dan potensi lahan gambut cukup baik untuk pertanian, maka diperlukan beberapa perlakukan pada lahan dan tanah gambut sebagai upaya penetralan kandungan asam sehingga aman bagi tanaman. Â Selain melakukan penyesuaian tanaman terhadap lahan gambut, terdapat berbagai perlakukan yang dapat dilakukan yaitu pemberian amelioran sehingga akar tanaman dapat berperan baik untuk menekan asam-asam organik dan asam sulfat yang aktif, selain itu dengan melakukan pengelolaan air untuk mengurangi air berlebih (drainase) pada lahan gambut. Â
Kemudian dilanjutkan oleh pemaparan materi oleh Dr. Athlea T. Grundling, seorang Research Team Manager Water Science, Agricultural Research Centre -- Natural Resources and Engineering, South Africa, mengatakan bahwa pada salah satu negara yang beriklim subtropik, yaitu negara Afrika Selatan kurang dari 10% merupakan lahan basah.Â
Para peneliti di daerah tersebut sudah menerapkan salah satu cara untuk melakukan pengelolaan air dengan membuat sumur (paralon) untuk mengetahui tinggi muka air atas curah hujan pada lahan gambut. Â Dengan demikian, data pengukuran tersebut dapat digunakan sebagai landasan untuk melihat bagaimana dampak dari curah hujan terhadap lahan gambut. Â Pemaparan contoh-contoh lapangan di Afrika Selatan diberikan oleh juniornya Dr. Athlea yaitu Jasson Le Proux, M.Sc.
Menurut narasumber dari Afrika Selatan, ancaman yang sering terjadi pada lahan gambut yaitu sering terjadinya kebakaran lahan dan erosi, yang membuat sekitar 280,51 ton hilangnya kandungan karbon pada lahan gambut saat ini. Â Oleh karena itu perlu adanya komitmen bersama antara berbagai pihak pemangku kepentingan baik pihak pengelola maupun pemerintah. Â Petani memiliki peran yang cukup penting dalam melakukan pelestarian dan pemanfaatan lahan gambut. Â Perlu adanya keterampilan yang didampingi dan dibina langsung oleh para ahli.Â
Hal tersebut didukung dan dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Prof. Yunita T. Winarto, Ph.D., dan Fajar Surya Pratomo yang menyatakan bahwa akan banyak ditemui keterbatasan teknologi ketika berpraktek langsung di lapangan. Prof Yunita selanjutnya berduet dengan seorang praktisi lapang yaitu bapak Nurkilah. Menurut ketiganya, langkah awal yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan pemberdayaan dan penguatan kelembagaan masyarakat/petani.Â