Merumuskan tentang nilai tak akan ada habisnya. Menilai dan dinilai menjadi sesuatu hal yang terkadang membatasi gerak tapi juga dibutuhkan berbagai pihak. Bukan tidak wajar jika pada akhirnya seseorang atau seonggok perihal menjadi berubah sikap, sifat dan gerak laganya ketika hendak dinilai. Menjadi sesuatu yang wajar jika sejatinya yang menilai harus memiliki nilai lebih ketika memberi penilaian. Bukan apa-apa, terkadang nilai hanya perihal diterima atau dilupakan dengan biasa. Atau bahkan dalam beberapa kesempatan nilai hanya menjadi sekelumit formalitas menuntaskan syarat berbatas. Apalagi jika tak pernah mengacu proses secara bersahaja.
Berdalil terhadap nilai, kebanyakan orang hanya memandang dari berapa jumlahnya. Tapi tak banyak yang peduli dari mana memperolehnya, bagaimana caranya. Nilai adalah senjata berjumlah bilangan angka-angka atau bisa jadi penafsiran tersirat tanpa sebuah kuantitas hitungan matematis. Tidak selalu dalam bentuk jumlah, kali, bagi, logaritma, factorial, bahkan integral sin cos tangen. Bisa hanya sekedar ucapan, kekaguman, peneladanan, bahkan pengakuan di dalam peradaban.
Yang terpenting yang harus selalu kita ilhami, nilai adalah sepercik rumus pasti yang akan ada dan tercipta akibat sebuah sikap. Bisa dalam jumlah yang rendah, atau dalam bentuk yang salah. Atau bagusnya adalah dalam jumlah yang tinggi, dan bentuk yang benar. Karena sejatinya yang tinggi dan benar tak sulit ketika memasuki rumus bagi. Namun jika nilai berjumlah minus, tentu akan sulit diinterpretasikan dalam rumus akar karena akan menghasilkan bilangan imaginer yang mungkin tak akan berarti.
Tak perlu tanya kita ada untuk siapa, tapi menjadi perlu menentukan kita ada untuk apa. Seperti itu pula nilai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H